Karbon dioksida

senyawa kimia

Karbon dioksida atau zat asam arang (rumus kimia: CO2) adalah sejenis senyawa kimia yang terdiri dari dua atom oksigen yang terikat secara kovalen dengan sebuah atom karbon. Ia berbentuk gas pada keadaan temperatur dan tekanan standar dan hadir di atmosfer bumi. Rata-rata konsentrasi karbon dioksida di atmosfer bumi pada Maret 2022 adalah 417 ppm berdasarkan volume, dibandingkan dengan konsentrasi pra-industri 280 ppm.[1][2] Karbon dioksida adalah gas rumah kaca yang penting karena ia menyerap gelombang inframerah dengan kuat.

Karbon dioksida
Nama
Nama IUPAC
Karbon dioksida
Nama lain
Gas asam karbonat; karbonat anhidrida; es kering (bentuk padat); zat asam arang
Penanda
Model 3D (JSmol)
3DMet {{{3DMet}}}
Nomor EC
Nomor RTECS {{{value}}}
  • InChI=1/CO2/c2-1-3
  • C(=O)=O
Sifat
CO2
Massa molar 44,0095(14) g/mol
Penampilan gas tidak berwarna
Densitas 1.600 g/L (padat)
1,98 g/L (gas)
Titik lebur −57 °C (216 K)
(di bawah tekanan)
Titik didih −78 °C (195 K)
(menyublim)
1,45 g/L
Keasaman (pKa) 6,35 dan 10,33
Viskositas 0,07 cP pada −78 °C
nol
Struktur
linear
Senyawa terkait
Kecuali dinyatakan lain, data di atas berlaku pada suhu dan tekanan standar (25 °C [77 °F], 100 kPa).
Referensi

Karbon dioksida dihasilkan oleh semua hewan, tumbuh-tumbuhan, fungi, dan mikroorganisme pada proses respirasi dan digunakan oleh tumbuhan pada proses fotosintesis. Oleh karena itu, karbon dioksida merupakan komponen penting dalam siklus karbon. Karbon dioksida juga dihasilkan dari hasil samping pembakaran bahan bakar fosil. Karbon dioksida anorganik dikeluarkan dari gunung berapi dan proses geotermal lainnya seperti pada mata air panas.

Karbon dioksida tidak mempunyai bentuk cair pada tekanan di bawah 5,1 atm namun langsung menjadi padat pada temperatur di bawah -78 °C. Dalam bentuk padat, karbon dioksida umumnya disebut sebagai es kering.

CO2 adalah oksida asam. Larutan CO2 mengubah warna lakmus dari biru menjadi merah muda.

Sifat-sifat kimia dan fisika

sunting
 
Diagram fase tekanan-temperatur karbon dioksida yang memperlihatkan titik tripel karbon dioksida

Karbon dioksida adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau. Ketika dihirup pada konsentrasi yang lebih tinggi dari konsentrasi karbon dioksida di atmosfer, ia akan terasa asam di mulut dan mengengat di hidung dan tenggorokan. Efek ini disebabkan oleh pelarutan gas di membran mukosa dan saliva, membentuk larutan asam karbonat yang lemah. Sensasi ini juga dapat dirasakan ketika seseorang bersendawa setelah meminum air berkarbonat (misalnya Coca Cola). Konsentrasi yang lebih besar dari 5.000 ppm tidak baik untuk kesehatan, sedangkan konsentrasi lebih dari 50.000 ppm dapat membahayakan kehidupan hewan.[3]

Pada keadaan STP, rapatan karbon dioksida berkisar sekitar 1,98 kg/m³, kira kira 1,5 kali lebih berat dari udara. Molekul karbon dioksida (O=C=O) mengandung dua ikatan rangkap yang berbentuk linear. Ia tidak bersifat dipol. Senyawa ini tidak begitu reaktif dan tidak mudah terbakar, tetapi bisa membantu pembakaran logam seperti magnesium.

 
Pelet kecil dari es kering yang menyublim di udara.
 
Struktur kristal es kering

Pada suhu −78,51° C, karbon dioksida langsung menyublim menjadi padat melalui proses deposisi. Bentuk padat karbon dioksida biasa disebut sebagai "es kering". Fenomena ini pertama kali dipantau oleh seorang kimiawan Prancis, Charles Thilorier, pada tahun 1825. Es kering biasanya digunakan sebagai zat pendingin yang relatif murah. Sifat-sifat yang menyebabkannya sangat praktis adalah karbon dioksida langsung menyublim menjadi gas dan tidak meninggalkan cairan. Penggunaan lain dari es kering adalah untuk pembersihan sembur.

Cairan kabon dioksida terbentuk hanya pada tekanan di atas 5,1 atm; titik tripel karbon dioksida kira-kira 518 kPa pada −56,6 °C (Silakan lihat diagram fase di atas). Titik kritis karbon dioksida adalah 7,38 MPa pada 31,1 °C.[4]

Terdapat pula bentuk amorf karbon dioksida yang seperti kaca, tetapi ia tidak terbentuk pada tekanan atmosfer.[5] Bentuk kaca ini, disebut sebagai karbonia, dihasilkan dari pelewatbekuan CO2 yang terlebih dahulu dipanaskan pada tekanan ekstrem (40-48 GPa atau kira-kira 400.000 atm) di landasan intan. Penemuan ini mengkonfirmasikan teori yang menyatakan bahwa karbon dioksida bisa berbentuk kaca seperti senyawa lainnya yang sekelompok dengan karbon, misalnya silikon dan germanium. Tidak seperti kaca silikon dan germanium, kaca karbonia tidak stabil pada tekanan normal dan akan kembali menjadi gas ketika tekanannya dilepas.

Sejarah pemahaman manusia

sunting

Pada abad ke-17, seorang kimiawan Fleming, Jan Baptist van Helmont, menemukan bahwa arang yang dibakar pada bejana tertutup akan menghasilkan abu yang massanya lebih kecil dari massa arang semula. Dia berkesimpulan bahwa sebagian arang tersebut telah ditransmutasikan menjadi zat yang tak terlihat, ia menamakan zat tersebut sebagai "gas" atau spiritus sylvestre (Bahasa Indonesia: arwah liar).

Sifat-sifat karbon dioksida dipelajari lebih lanjut pada tahun 1750 oleh fisikawan Skotlandia Joseph Black. Dia menemukan bahwa batu kapur (kalsium karbonat) dapat dibakar atau diberikan asam dan menghasilkan gas yang dia namakan sebagai "fixed air". Dia juga menemukan bahwa gas ini lebih berat daripada udara dan ketika digelembungkan dalam larutan kapur (kalsium hidroksida) akan mengendapkan kalsium karbonat. Dia menggunakan fenomena ini untuk mengilustrasikan bahwa karbon dioksida dihasilkan dari pernapasan hewan dan fermentasi mikroba. Pada tahun 1772, seorang kimiawan Inggris Joseph Priestley mempublikasikan sebuah jurnal yang berjudul Impregnating Water with Fixed Air. Dalam jurnal tersebut, dia menjelaskan proses penetesan asam sulfat (atau minyak vitriol seperti yang Priestley sebut) ke kapur untuk menghasilkan karbon dioksida dan memaksa gas itu untuk larut dengan menggoncangkan semangkuk air yang berkontak dengan gas.[6]

Karbon dioksida pertama kali dicairkan (pada tekanan tinggi) pada tahun 1823 oleh Humphry Davy dan Michael Faraday.[7] Deskripsi pertama mengenai karbon dioksida padat dilaporkan oleh Charles Thilorier ketika pada tahun 1834 dia membuka kontainer karbon dioksida cair yang diberikan tekanan dan menemukan pendinginan tersebut menghasilkan penguapan yang menghasilkan "salju" CO2 padat.[8]

Isolasi

sunting

Karbon dioksida bisa kita dapatkan dengan distilasi udara. Namun cara ini hanya menghasilkan CO2 yang sedikit. Berbagai jenis reaksi kimia dapat menghasilkan karbon dioksida, seperti reaksi pada kebanyakan asam dengan karbonat logam. Reaksi antara asam sulfat dengan kalsium karbonat adalah:

 

H2CO3 kemudian terurai menjadi air dan CO2. Reaksi ini diikuti dengan pembusaan atau penggelembungan.

Pembakaran dari semua bahan bakar yang mengandung karbon, seperti metana (gas alam), distilat minyak bumi (bensin, diesel, minyak tanah, propana), arang dan kayu akan menghasilkan karbon dioksida. Sebagai contohnya reaksi antara metana dan oksigen:

 

Besi direduksi dari oksida besi dengan kokas pada tungku sembur, menghasilkan pig iron dan karbon dioksida:

 

Khamir mencerna gula dan menghasilkan karbon dioksida beserta etanol pada proses pembuatan anggur, bir, dan spiritus lainnya:

  

Semua organisme aerob menghasilkan CO2 dalam proses pembakaran karbohidrat, asam lemak, dan protein pada mitokondria di dalam sel. Reaksi-reaksi yang terlibat dalam proses pembakaran ini sangatlah rumit dan tidak bisa dijelaskan dengan mudah. (Lihat pula: respirasi sel, respirasi anaerob, dan fotosintesis).

Karbon dioksida larut dalam air dan secara spontan membentuk H2CO3 (asam karbonat) dalam kesetimbangan dengan CO2. Konsentrasi relatif antara CO2, H2CO3, dan HCO3 (bikarbonat) dan CO2−3(karbonat) bergantung pada kondisi pH larutan. Dalam air yang bersifat netral atau sedikit basa (pH > 6,5), bentuk bikarbonat mendominasi (>50%). Dalam air yang bersifat basa kuat (pH > 10,4), bentuk karbonat mendominasi. Bentuk karbonat dan bikarbonat memiliki kelarutan yang sangat baik. Dalam air laut (dengan pH = 8,2 - 8,5), terdapat 120 mg bikarbonat per liter.

Produksi dalam skala industri

sunting

Karbon dioksida secara garis besar dihasilkan dari enam proses:[9]

  1. Sebagai hasil samping dari pengilangan ammonia dan hidrogen, di mana metana dikonversikan menjadi CO2.
  2. Dari pembakaran kayu dan bahan bakar fosil;
  3. Sebagai hasil samping dari fermentasi gula pada proses peragian bir, wiski, dan minuman beralkohol lainnya;
  4. Dari proses penguraian termal batu kapur, CaCO3;
  5. Sebagai produk samping dari pembuatan natrium fosfat;
  6. Secara langsung di ambil dari mata air yang karbon dioksidanya dihasilkan dari pengasaman air pada batu kapur atau dolomit.

Di Atmosfer Bumi

sunting
 
Peningkatan tahunan CO2 atmosfer: Rata-rata peningkatan tahunan pada tahun 1960-an adalah 37% dari rata-rata peningkatan tahunan tahun 2000-2007.[10]

Karbon dioksida di atmosfer bumi dianggap sebagai gas kelumit dengan konsentrasi sekitar 417 ppm berdasarkan volume. Massa atmosfer bumi adalah 5,14×1018 kg,[11] sehingga massa total karbon dioksida atmosfer adalah 3,0×1015 kg (3.000 gigaton). Konsentrasi karbon dioksida bervariasi secara musiman (lihat grafik di samping). Di wilayah perkotaan, konsentrasi karbon dioksida secara umum lebih tinggi, sedangkan di ruangan tertutup, ia dapat mencapai 10 kali lebih besar dari konsentrasi di atmosfer terbuka.

Oleh karena aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer telah meningkat sekitar 35% sejak dimulainya revolusi industri.[12] Pada tahun 1999, 2.244.804.000 ton CO2 dihasilkan di Amerika Serikat dari pembangkitan energi listrik. Laju pengeluaran ini setara dengan 0,6083 kg per kWh.[13]

 
Konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi sepanjang 800.000 tahun yang lalu.

Lima ratus juta tahun yang lalu, keberadaan karbon dioksida 20 kali lipat lebih besar dari yang sekarang dan menurun 4-5 kali lipat semasa periode Jura dan secara lambat menurun sampai dengan revolusi industri.[14][15]

Sampai dengan 40% dari gas yang dimuntahkan oleh gunung berapi semasa ledakan subaerial adalah karbon dioksida.[16] Menurut perkiraan paling canggih, gunung berapi melepaskan sekitar 130-230 juta ton CO2 ke atmosfer setiap tahun. Karbon dioksida juga dihasilkan oleh mata air panas, seperti yang terdapat di situs Bossoleto dekat Terme Rapolano di Toscana, Italia. Di sini, di depresi yang berbentuk mangkuk dengan diameter kira-kira 100 m, konsentrasi CO2 setempat meningkat sampai dengan lebih dari 75% dalam semalam, cukup untuk membunuh serangga-serangga dan hewan yang kecil, tetapi menghangat dengan cepat ketika cahaya matahari memancar dan berbaur secara konveksi semasa pagi hari.[17] Konsentrasi setempat CO2 yang tinggi yang dihasilkan oleh gangguan air danau dalam yang jenuh dengan CO2 diduga merupakan akibat dari terjadinya 37 kematian di Danau Moboun, Kamerun pada 1984 dan 1700 kematian di Danau Nyos, Kamerun.[18] Namun, emisi CO2 yang diakibatkan oleh aktivitas manusia sekarang adalah 130 kali lipat lebih besar dari kuantitas yang dikeluarkan gunung berapi, yaitu sekitar 27 miliar ton setiap tahun.[19]

Di samudera

sunting

Terdapat sekitar 50 kali lebih banyak karbon yang terlarut di dalam samudera dalam bentuk CO2 dan hidrasi CO2 daripada yang terdapat di atmosfer. Samudera berperan sebagai buangan karbon raksasa dan telah menyerap sekitar sepertiga dari emisi CO2 yang dihasilkan manusia."[20] Secara umum, kelarutan akan berkurang ketika temperatur air bertambah. Oleh karena itu, karbon dioksida akan dilepaskan dari air samudera ke atmosfer ketika temperatur samudera meningkat.

Kebanyakan CO2 yang berada di samudera berbentuk asam karbonat. Sebagian dikonsumsi oleh organisme air sewaktu fotosintesis dan sebagian kecil lainnya tenggelam dan meninggalkan siklus karbon. Terdapat kekhawatiran meningkatnya konsentrasi CO2 di udara akan meningkatkan keasaman air laut, sehingga akan menimbulkan efek-efek yang merugikan terhadap organisme-organisme yang hidup di air.

Peranan biologis

sunting

Karbon dioksida adalah hasil akhir dari organisme yang mendapatkan energi dari penguraian gula, lemak, dan asam amino dengan oksigen sebagai bagian dari metabolisme dalam proses yang dikenal sebagai respirasi sel. Hal ini meliputi semua tumbuhan, hewan, kebanyakan jamur, dan beberapa bakteri. Pada hewan tingkat tinggi, karbon dioksida mengalir di darah dari jaringan tubuh ke paru-paru untuk dikeluarkan. Pada tumbuh-tumbuhan, karbon dioksida diserap dari atmosfer sewaktu fotosintesis.

Peranan pada fotosintesis

sunting

Tumbuh-tumbuhan mengurangi kadar karbon dioksida di atmosfer dengan melakukan fotosintesis, disebut juga sebagai asimilasi karbon, yang menggunakan energi cahaya untuk memproduksi materi organik dengan mengkombinasi karbon dioksida dengan air. Oksigen bebas dilepaskan sebagai gas dari penguraian molekul air, sedangkan hidrogen dipisahkan menjadi proton dan elektron, dan digunakan untuk menghasilkan energi kimia via fotofosforilasi. Energi ini diperlukan untuk fiksasi karbon dioksida pada siklus Kalvin untuk membentuk gula. Gula ini kemudian digunakan untuk pertumbuhan tumbuhan melalui respirasi

Walaupun terdapat lubang angin, karbon dioksida haruslah dimasukkan ke dalam rumah kaca untuk menjaga pertumbuhan tanaman oleh karena konsentrasi karbon dioksida dapat menurun selama siang hari ke level 200 ppm. Tumbuhan memiliki potensi tumbuh 50 persen lebih cepat pada konsentrasi CO2 sebesar 1.000 ppm.[21]

Tumbuh-tumbuhan juga mengeluarkan CO2 selama pernapasan, sehingga tumbuhan yang berada pada tahap pertumbuhan sajalah yang merupakan penyerap bersih CO2. Sebagai contoh, hutan tumbuh akan menyerap berton-ton CO2 setiap tahunnya, tetapi hutan matang akan menghasilkan CO2 dari pernapasan dan dekomposisi sel-sel mati sebanyak yang dia gunakan untuk biosintesis tumbuhan.[22] Walaupun demikian, hutan matang jugalah penting sebagai buangan karbon, membantu menjaga keseimbangan atmosfer bumi. Selain itu, fitoplankton juga menyerap CO2 yang larut di air laut, sehingga mempromosikan penyerapan CO2 dari atmosfer.[23]

Toksisitas

sunting

Kandungan karbon dioksida di udara segar bervariasi antara 0,03% (300ppm) sampai dengan 0,06% (600 ppm) bergantung pada lokasi.

Menurut Otoritas Keselamatan Maritim Australia, "Paparan berkepanjangan terhadap konsentrasi karbon dioksida yang sedang dapat menyebabkan asidosis dan efek-efek merugikan pada metabolisme kalsium fosforus yang menyebabkan peningkatan endapan kalsium pada jaringan lunak. Karbon dioksida beracun kepada jantung dan menyebabkan menurunnya gaya kontraktil. Pada konsentrasi tiga persen berdasarkan volume di udara, ia bersifat narkotik ringan dan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, dan menyebabkan penurunan daya dengar. Pada konsentrasi sekitar lima persen berdasarkan volume, ia menyebabkan stimulasi pusat pernapasan, pusing-pusing, kebingungan, dan kesulitan pernapasan yang diikuti sakit kepala dan sesak napas. Pada konsentrasi delapan persen, ia menyebabkan sakit kepala, keringatan, penglihatan buram, tremor, dan kehilangan kesadaran setelah paparan selama lima sampai sepuluh menit."[24]

Oleh karena bahaya kesehatan yang diasosiasikan dengan paparan karbon dioksida, Administrasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja Amerika Serikat menyatakan bahwa paparan rata-rata untuk orang dewasa yang sehat selama waktu kerja 8 jam sehari tidak boleh melebihi 5.000 ppm (0,5%). Batas aman maksimum untuk balita, anak-anak, orang tua, dan individu dengan masalah kesehatan kardiopulmonari (jantung dan paru-paru) secara signifikan lebih kecil. Untuk paparan dalam jangka waktu pendek (di bawah 10 menit), batasan dari Institut Nasional untuk Kesehatan dan Keamanan Kerja Amerika Serikat (NIOSH) adalah 30.000 ppm (3%). NIOSH juga menyatakan bahwa konsentrasi karbon dioksida yang melebihi 4% adalah langsung berbahaya bagi keselamatan jiwa dan kesehatan.[25]

Adaptasi terhadap peningkatan kadar CO2 dapat terjadi pada manusia. Inhalasi CO2 yang berkelanjutan dapat ditoleransi pada konsentrasi inspirasi tiga persen paling sedikit selama satu bulan dan empat persen konsentrasi insiparsi selama lebih dari satu minggu. Diajukan juga bahwa konsentrasi insipirasi sebesar 2,0 persen dapat digunakan untuk ruangan tertutup (seperti kapal selam) oleh karena adaptasi ini bersifat fisiologis dan reversibel. Penurunan kinerja atau pada aktivitas fisik yang normal tidak terjadi pada tingkat konsentrasi ini.[26][27]

Gambaran-gambaran ini berlaku untuk karbon dioksida murni. Dalam ruangan tertutup yang dipenuhi orang, konsentrasi karbondioksida akan mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada konsentrasi di udara bebas. Konsentrasi yang lebih besar dari 1.000 ppm akan menyebabkan ketidaknyamanan terhadap 20% penghuni dan ketidaknyamanan ini akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi CO2. Ketidaknyamanan ini diakibatkan oleh gas-gas yang dikeluarkan sewaktu pernapasan dan keringatan manusia, bukan oleh CO2. Pada konsentrasi 2.000 ppm, mayoritas penghuni akan merasakan ketidaknyamanan yang signifikan dan banyak yang akan mual-mual dan sakit kepala. Konsentrasi CO2 antara 300 ppm sampai dengan 2.500 ppm digunakan sebagai indikator kualitas udara dalam ruangan.

Keracunan karbon dioksida akut dikenal sebagai lembap hitam. Para penambang biasanya akan membawa sesangkar burung kenari ketika mereka sedang bekerja untuk memperingati mereka ketika kadar karbon dioksida mencapat tingkat yang berbahaya. Burung kenari akan terlebih dahulu mati sebelum kadar CO2 mencapai tingkat yang berbahaya untuk manusia. Karbon dioksida menyebabkan kematian yang luas di Danau Nyos di Kamerun pada tahun 1996.[28] Karbon dioksida yang lebih berat yang dikeluarkan mendorong oksigen keluar, menyebabkan kematian hampir 2000 orang.

Fisiologi manusia

sunting

CO2 diangkut di darah dengan tiga cara yang berbeda:

 

Hemoglobin, molekul pengangkut oksigen yang utama pada sel darah merah, mengangkut baik oksigen maupun karbon dioksida. Namun CO2 yang diangkut hemoglobin tidak terikat pada tempat yang sama dengan oksigen. Ia bergabung dengan gugus terminal-N pada empat rantai globin. Namun, karena efek alosterik pada molekul hemoglobin, pengikatan CO2 mengurangi jumlah oksigen yang dapat diikat. Penurunan pengikatan karbon dioksida oleh karena peningkatan kadar oksigen dikenal sebagai efek Haldane dan penting dalam traspor karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru. Sebaliknya, peningkatan tekanan parsial CO2 atau penurunan pH akan menyebabkan pelepasan oksigen dari hemoglobin, dikenal sebagai efek Bohr

Karbon dioksida adalah salah satu mediator autoregulasi setempat suplai darah. Apabila kadar karbon dioksidanya tinggi, kapiler akan mengembang untuk mengizinkan arus darah yang lebih besar ke jaringan yang dituju.

Ion bikarbonat sangatlah penting dalam meregulasi pH darah. Laju pernapasan seseorang dipengaruhi oleh kadar CO2 dalam darahnya. Pernapasan yang terlalu lambat akan menyebabkan asidosis pernapasan, sedangkan pernapasan yang terlalu cepat akan menimbulkan hiperventilasi yang bisa menyebabkan alkalosis pernapasan.

Walaupun tubuh memerlukan oksigen untuk metabolisme, kadar oksigen yang rendah tidak akan menstimulasi pernapasan. Sebaliknya pernapasan distimulasi oleh kadar karbon dioksida yang tinggi. Akibatnya, bernapas pada udara bertekanan rendah atau campuran gas tanpa oksigen (seperti nitrogen murni) dapat menyebabkan kehilangan kesadaran. Hal ini sangatlah berbahaya bagi pilot tempur. Ini juga adalah alasan mengapa penumpang pesawat diinstruksikan untuk memakai masker oksigen ke dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum membantu orang lain ketika tekanan kabin berkurang, jika tidak maka terjadi risiko tidak sadarkan diri.[29]

Menurut salah satu kajian dari Departemen Pertanian Amerika Serikat, pernapasan orang pada umumnya menghasilkan kira-kira 450 liter (sekitar 900 gram) karbon dioksida perhari.[30]

Sebagai bahan tambahan pangan

sunting

Dalam Permenkes RI No 033/2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, gas ini termasuk sebagai bahan tambahan pangan yang diizinkan, yaitu sebagai bahan pengarbonasi dan pengisi kemasan.[31] Dosis harian yang dapat diterima menurut Peraturan Kepala BPOM RI adalah:

  • Sebagai bahan pengarbonasi: tidak dinyatakan,[32]
  • Sebagai gas untuk kemasan: tidak dinyatakan.[33]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Carbon Dioxide Concentration". Climate Change: Vital Signs of the Planet (dalam bahasa Inggris). NASA. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-17. Diakses tanggal 2021-06-23. 
  2. ^ Eggleton T (2013). A Short Introduction to Climate Change (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 52. ISBN 9781107618763. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 July 2021. Diakses tanggal 9 November 2020. 
  3. ^ Staff (16 August 2006). "Carbon dioxide: IDLH Documentation". National Institute for Occupational Safety and Health. Diakses tanggal 2007-07-05. 
  4. ^ "Phase change data for Carbon dioxide". National Institute of Standards and Technology. Diakses tanggal 2008-01-21. 
  5. ^ Santoro, M. (2006). "Amorphous silica-like carbon dioxide". Nature. 441 (7095): 857–860. doi:10.1038/nature04879. ISSN 0028-0836. 
  6. ^ Priestley, Joseph (1772). "Observations on Different Kinds of Air". Philosophical Transactions. 62: 147–264. ISSN 0260-7085. 
  7. ^ Davy, Humphry (1823). "On the Application of Liquids Formed by the Condensation of Gases as Mechanical Agents" (PDF). Philosophical Transactions. 113: 199–205. ISSN 0261-0523. [pranala nonaktif permanen]
  8. ^ Duane, H.D. Roller (1952). "Thilorier and the First Solidification of a "Permanent" Gas (1835)". Isis. 43 (2): 109–113. ISSN 0021-1753. 
  9. ^ Pierantozzi, Ronald (2001). "Carbon Dioxide". Kirk-Othmer Encyclopedia of Chemical Technology. Wiley. doi:10.1002/0471238961.0301180216090518.a01.pub2. 
  10. ^ Dr. Pieter Tans (3 May 2008) "Annual CO2 mole fraction increase (ppm)" for 1959-2007 National Oceanic and Atmospheric Administration Earth System Research Laboratory, Global Monitoring Division (additional details.)
  11. ^ "Global atmospheric mass, surface pressure, and water vapor variations". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-08-30. Diakses tanggal 2008-06-23. 
  12. ^ NOAA News Online (Story 2412)
  13. ^ "Carbon Dioxide Emissions from the Generation of Electric Power in the United States" (PDF). 
  14. ^ "Climate and CO2 in the Atmosphere". Diakses tanggal 2007-10-10. 
  15. ^ "GEOCARB III: A REVISED MODEL OF ATMOSPHERIC CO2 OVER PHANEROZOIC TIME" (PDF). Diakses tanggal 2008-02-15.  line feed character di |title= pada posisi 53 (bantuan)
  16. ^ Sigurdsson, H. et al., (2000) Encyclopedia of Volcanoes, San Diego, Academic Press
  17. ^ vanGardingen PR, Grace J, Jeffree CE, Byari, S.H., Miglietta, F., Raschi, A., Bettarini, I. (1997) Long-term effects of enhanced CO2 concentrations on leaf gas exchange: research opportunities using CO2 springs. In Plant responses to elevated CO2. Evidence from natural springs. Ed. A. Raschi, F. Miglietta, R. Tognetti and P.R. van Gardingen. Cambridge University Press. pp. 69-86.
  18. ^ M. Martini (1997)CO2 emissions in volcanic areas: case histories and hazaards. In Plant responses to elevated CO2. Evidence from natural springs. Ed. A. Raschi, F. Miglietta, R. Tognetti and P.R. van Gardingen. Cambridge University Press. pp. 69-86.
  19. ^ "Volcanic Gases and Their Effects". Diakses tanggal 2007-09-07. 
  20. ^ Doney, Scott C. (2006-11-29). "How Long Can the Ocean Slow Global Warming?". Oceanus. Diakses tanggal 2007-11-21. 
  21. ^ Blom, T.J. (2002-12). "Carbon Dioxide In Greenhouses". Diakses tanggal 2007-06-12. 
  22. ^ "Global Environment Division Greenhouse Gas Assessment Handbook - A Practical Guidance Document for the Assessment of Project-level Greenhouse Gas Emissions". World Bank. Diakses tanggal 2007-11-10. 
  23. ^ Falkowski, P. (2000). "The global carbon cycle: a test of our knowledge of earth as a system". Science. 290 (5490): 291–296. doi:10.1126/science.290.5490.291. ISSN 0036-8075. PMID 11030643. 
  24. ^ Davidson, Clive. 7 February 2003. "Marine Notice: Carbon Dioxide: Health Hazard". Australian Maritime Safety Authority.
  25. ^ Occupational Safety and Health Administration. Chemical Sampling Information: Carbon Dioxide. Retrieved 5 June 2008 from: http://www.osha.gov/dts/chemicalsampling/data/CH_225400.html Diarsipkan 2011-05-01 di Wayback Machine.
  26. ^ Lambertsen, C. J. (1971). "Carbon Dioxide Tolerance and Toxicity". Environmental Biomedical Stress Data Center, Institute for Environmental Medicine, University of Pennsylvania Medical Center. Philadelphia, PA. IFEM Report No. 2-71. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-24. Diakses tanggal 2008-05-02. 
  27. ^ Glatte Jr H. A., Motsay G. J., Welch B. E. (1967). "Carbon Dioxide Tolerance Studies". Brooks AFB, TX School of Aerospace Medicine Technical Report. SAM-TR-67-77. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-09. Diakses tanggal 2008-05-02. 
  28. ^ New York Times, "Trying to Tame the Roar of Deadly Lakes", February 27, 2001. [1].
  29. ^ a b c d "CARBON DIOXIDE". solarnavigator.net. Diakses tanggal 2007-10-12. 
  30. ^ Hannan, Jerry. "Your Role in the "Greenhouse Effect"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 2006-04-19. 
  31. ^ "PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 033 TAHUN 2012 TENTANG BAHAN TAMBAHAN PANGAN" (PDF), pom.go.id, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-02-02, diakses tanggal 2016-01-28 
  32. ^ "Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Bahan Pengarbonasi" (PDF), Peraturan Kepala BPOM RI No. 4/2013, diakses tanggal 2016-02-01 
  33. ^ "Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Gas untuk Kemasan" (PDF), Peraturan Kepala BPOM RI No. 17/2013, diakses tanggal 2016-02-01 

Lihat pula

sunting