Lompat ke isi

Islam di Kepulauan Bangka Belitung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Islam di Kepulauan Bangka Belitung mulai berkembang sejak masa kesultanan-kesultanan di Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Penyebaran Islam di Kepulauan Bangka Belitung dimulai oleh Kesultanan Johor dan dilanjutkan oleh Kesultanan Banten dan Kesultanan Palembang. Agama Islam telah menjadi agama mayoritas di Pulau Belitung pada dekade kedua abad ke-21 M.

Masa Kesultanan Johor

[sunting | sunting sumber]

Masyarakat di Pulau Bangka mulai menjadi muslim ketika kapal-kapal dari Johor berlabuh untuk melanjutkan perjalanan dari Melaka ke Jawa. Proses islamisasi semakin meningkat pada masa pemerintahan Kesultanan Johor di Pulau Bangka. Kekuasaan Kesultanan Johor diawali dengan keberhasilan persekutuan dengan Kesultanan Minangkabau. Persekutuan ini bertujuan menumpas bajak laut di Pulau Bangka. Sultan Johor kemudian mengangkat seorang panglima bernama Sarah sebagai Raja Muda di Pulau Bangka. Pusat pemerintahannya di Bangka Kota. Penyebaran Islam juga dipusatkan di Bangka Kota.[1]

Setelah Panglima Sarah wafat, kekuasaannya di Pulau Bangka diteruskan kepada Raja Alam Harimau Garang dari Kesultanan Minangkabau. Pusat pemerintahan dan pengembangan agama Islam di Pulau Bangka kemudian dipindahkan ke Kota Waringin. Raja Alam Harimau Garang adalah seorang ulama. Pada masa pemerintahannya dibangun Masjid Jami' Kota Waringin. Pada masa yang bersamaan, di Muntok didirikan pula masjid oleh dua orang tokoh dari Batusangkar. Keduanya adalah Nakhoda Sulaiman dan Qori. Ia mendirikan masjid bersama dengan anak-anak dan cucu-cucunya di Pelabuhan Muntok.[1]

Sementara di Pulau Belitung, Islam disebarkan oleh Datuk Mayang Gresik. Ia datang pada tahun 1520 M dan kemudian mendirikan Kerajaan Badau di Pulau Belitung. Pusat kekuasaannya berada di daerah Pelulusan. Wilayah kekuasaannya mencakup wilayah Badau, Ibul, Bange, Bentaian, dan Simpang Tiga. Kemudian meluas hingga ke Buding, Manggar dan Gantung di bagian timur Pulau Belitung.[2]

Masa Kesultanan Banten

[sunting | sunting sumber]

Pada awal abad ke-17 Masehi, putri dari Datuk Mayang Gresik menikah dengan seorang bangsawan Jawa bernama Kiai Gede Yakob. Ia diperkirakan adalah keturunan dari Bupati Mataram bernama Ki Gede Pemanahan. Ia tiba ke Pulau Belitung melalui Teluk Balok dan menikahi putri dari Datuk Mayang Gresik. Setelah itu, Kiai Gede Yakob mendirikan Kerajaan Balok dengan gelar Depati Cakraningrat. Pada masa kekuasaannya, Islam belum menyebar dengan luas di Pulau Belitung. Karena animisme dan perdukunan masih sangat diyakini dan dipraktikkan oleh masyarakatnya.[2]

Di sisi lain pada paruh kedua Abad-17 Masehi, Raja Alam Harimau Garang wafat. Wilayah kekuasaannya di Pulau Bangka diambil alih oleh Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian memberikan posisi Raja Muda di Pulau Bangka kepada Bupati Nusantara. Pusat pemerintahan dan pengembangan Islam dikembalikan lagi ke Bangka Kota.[3]

Masa Kesultanan Palembang

[sunting | sunting sumber]

Bupati Nusantara wafat pada tahun 1671 M. Wilayah kekuasaannya kemudian diberikan kepada putrinya yang bernama Khadijah. Wilayah Pulau Bangka kemudian menjadi bagian dari Kesultanan Palembang setelah Khadijah menikah dengan Sultan Abdurrahman. Khadijah kemudian diberikan kekuasaan atas Pulau Bangka dan wilayah di sekitarnya. Pada masa ini, Islam menjadi bagian dari tradisi masyarakat Kesultanan Palembang di Pulau Bangka. Aspek syariat Islam mulai diterapkan dalam masyarakat.[3]

Selain memberikan perlindungan untuk Pulau Bangka, Sultan Abdurrahman juga memberikannya kepada Kerajaan Balok. Pada masa ini, Kerajaan Balok berada dalam pemerintahan Cakraningrat III, Kiai Agung Gending. Kerajaan Balok diwajibkan membayar upeti kepada Kesultanan Palembang sebagai ganti atas perlindungan yang diperolehnya.[4]

Penyebaran Islam di Pulau Belitung baru berlangsung pada tahun 1700 M oleh Syeh Abubakar Abdullah. Ia berasal dari Pasai, Aceh. Namun, Abubakar Abdullah dibunuh pada tahun 1705 M oleh Cakraningrat IV Kerajaan Balok, Kiai Agus Bastam (1700–1704 M). Pembunuhan ini dilakukan olehnya karena merasa bahwa keberadaan Abubakar Abdullah mengancam kedudukannya sebagai penguasa di Pulau Belitung.[5]

Pada akhir tahun 2010, sebagian besar penduduk di Kabupaten Belitung beragama Islam.[6] Sementara di Kabupaten Belitung Timur, agama Islam menjadi agama mayoritas penduduknya tercatat pada bulan Februari 2013.[7]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Zulkifli 2007, hlm. 12.
  2. ^ a b ANRI 2017, hlm. 5.
  3. ^ a b Zulkifli 2007, hlm. 13.
  4. ^ ANRI 2017, hlm. 6.
  5. ^ ANRI 2017, hlm. 5-6.
  6. ^ Zukhri, dkk. 2015, hlm. 15.
  7. ^ Zukhri, dkk. 2015, hlm. 36.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]