Lompat ke isi

Negeri 5 Menara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Negeri 5 Menara adalah novel karya Ahmad Fuadi [1]yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2009. Novel ini bercerita tentang kehidupan Alif Fikri, seorang santri asal Maninjau, Sumatera Barat yang bersekolah di Pondok Madani (PM) Ponorogo, Jawa Timur, bersama lima teman-teman santrinya yang disebut Sahibul Menara. 5 anak santri yang menuntut ilmu di pesantern Gontor yang memiliki kebiasaan unik, yaitu setiap menjelang adzan maghrib mereka berkumpul di bawah menara masjid sambil memandang ke awan. Mereka memandang awan sambil membayangkan impian mereka; seperti Alif membayangkan awan bentuknya benua Amerika, sebuah negara yang ingin dia kunjungi setelah lulus nanti. Sedangkan keempat temannya menggambarkan awan seperti negara Arab Saudi , Mesir, dan negara di benua Eropa.[2] Cerita novel ini diteruskan dengan novel Ranah 3 Warna (2011) dan Rantau 1 Muara (2013). Novel ini telah diadaptasi menjadi sebuah film pada tahun 2013 dan sebuah serial web pada tahun 2019.

Sinopsis[sunting | sunting sumber]

Alif adalah seorang remaja yang hidup di daerah Danau Maninjau dan baru lulus dari Madrasah Tsanawiyah bersama teman sekaligus saingannya Randai. Mereka sama-sama ingin bersaing masuk Institut Teknologi Bandung setelah lulus Sekolah Menengah Atas, tetapi orang tua Alif ingin dia meneruskan pendidikan ke sekolah Islam lagi. Alif awalnya tidak mau sampai dia mendapat pesan dari kerabatnya yang lulusan Pondok Madani, sebuah sekolah Islam di Ponorogo yang lulusannya fasih berbahasa asing dan punya karier di luar negeri. Alif pun tertarik dan menjadi santri di sana.

Di Pondok Madani, Alif mengikuti aturan-aturan yang ketat, mulai dari hanya boleh berbicara bahasa Inggris dan Arab hingga kewajiban membantu jaga malam. Di pondok, Alif diajarkan "mantra" berbahasa Arab man jadda wajadda yang artinya, "Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil." Mantra ini memotivasi Alif dalam kehidupannya di pondok. Di waktu senggang, Alif terbiasa berkumpul di bawah menara masjid bersama lima temannya: Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Karena tempat berkumpul mereka, mereka berenam biasa dipanggil Sahibul Menara. Pada suatu hari saat berkumpul, mereka melihat awan dan mendapat inspirasi untuk mimpi mereka masing-masing: Alif ingin pergi ke benua Amerika, Raja ingin ke Eropa, Atang ke Afrika, Baso ke Asia, dan Said dan Dulmajid ingin tetap di Indonesia.

Selama empat tahun belajar di Pondok Madani, Alif mulai menekuni jurnalisme sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Pada tahun terakhir, Baso pulang ke Gowa karena permasalahan ekonomi keluarga. Di sisi lain, Alif iri pada Randai yang sudah lulus SMA dalam tiga tahun dan mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari pondok agar bisa segera mengikutinya ke ITB. Namun, ayah Alif datang dan mengubah pikirannya. Alif pun mengikuti ujian akhir pondok bersama Raja, Said, Dulmajid, dan Atang. Mereka berlima lulus dan pulang ke kampung halaman masing-masing.

Di prolog dan epilog novel, diceritakan bahwa di masa mendatang, Alif bekerja di Amerika Serikat dan mendapat undangan menjadi panelis di London. Atang yang bekerja di Mesir juga diundang ke sana, jadi Raja yang sedang tinggal di London mengajak mereka berkumpul. Diceritakan pula kabar Baso yang telah mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan di Mekah serta Said dan Dulmajid yang mendirikan pondok berbasis Pondok Madani di Surabaya.[3]

Alur/Plot[sunting | sunting sumber]

Selama di pesantren, Alif dan teman-temannya menghadapi berbagai tantangan, baik akademis maupun pribadi. Mereka harus mengikuti berbagai pelajaran agama dan umum, serta kegiatan-kegiatan pesantren yang padat. Selain itu, mereka juga harus menghadapi ujian-ujian yang menuntut keseriusan dan ketekunan. Para siswa harus menghafal ayat-ayat Al-Qur'an dan mengikuti debat dalam bahasa Arab dan Inggris. Ini merupakan tantangan besar bagi Alif dan teman-temannya, terutama karena mereka harus belajar bahasa baru dalam waktu singkat. Alif dan teman-temannya juga aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, seperti jurnalistik, teater, dan olahraga. Melalui kegiatan-kegiatan ini, mereka belajar bekerja sama dan mengembangkan bakat mereka. Salah satu puncak dari cerita tersebut adalah ketika mereka harus menjalani ujian penting di pesantren, yang menguji ketekunan dan persahabatan mereka. Ketegangan memuncak saat ujian akhir mendekat, dan para siswa bekerja keras untuk mempersiapkan diri. Ujian ini tidak hanya menguji kemampuan akademis mereka, tetapi juga ketahanan mental dan semangat mereka. Pada saat yang sama, Baso, salah satu sahabat Alif, harus menghadapi masalah pribadi yang berat. Dia menerima kabar bahwa neneknya, yang selama ini merawatnya, jatuh sakit parah. Baso akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pesantren dan kembali ke kampung halamannya di Gowa untuk merawat neneknya. Kepergian Baso menjadi momen emosional bagi Alif dan teman-temannya, namun mereka tetap memberikan dukungan dan semangat untuk Baso.

Setelah melalui berbagai rintangan, Alif dan teman-temannya mulai menemukan jalan mereka masing-masing. Mereka menyelesaikan pendidikan mereka di Pondok Madani dengan hasil yang memuaskan. Persahabatan dan nilai-nilai yang mereka pelajari di pondok memberikan mereka kekuatan untuk menghadapi masa depan. Alif berhasil mengatasi rasa rindu kampung halamannya dan menemukan kedamaian serta kebahagiaan di Pondok Madani. Dia juga semakin yakin dengan jalan hidup yang dipilihnya dan merasa bersyukur atas semua pelajaran yang dia dapatkan di pesantren.

Karakter[sunting | sunting sumber]

  • Alif: Tokoh 'aku' dalam cerita ini.
  • Raja Lubis: Teman Alif dari Medan. Ia adalah anggota English Club dan seorang orator yang hebat.
  • Said Jufri: Dari Surabaya. Ia sangat terobsesi dengan bodybuilding dan mengidolakan Arnold Schwarzenegger. Ia seorang penjaga kedisiplinan namun kehilangan jabatan setelah ia, Alif dan Atang pergi ke Surabaya tanpa izin.
  • Dulmajid: Dari Sumenep, Madura. Seorang pemain bulu tangkis, rekan latih tanding Ustad Torik.
  • Atang: Dari Bandung. Seorang yang mencintai seni dan teater.
  • Baso Salahuddin: Dari Gowa, Sulawesi. Terkenal karena memori fotografis dan Bahasa Arab yang fasih. Ia meninggalkan Pondok Madani saat kelas lima untuk menjaga neneknya dan berusaha menghafal Al-Qur`an di kampung halamannya.

Karakter Lain[sunting | sunting sumber]

  • Amak
  • Ayah/Fikri Syafnir/Katik Parpatiah Nan Mudo
  • Pak Sikumbang
  • Pak Etek Muncak
  • Pak Etek Gindo Marajo
  • Pak Sutan
  • Ismail Hamzah
  • Burhan
  • Ustadz Salman
  • Kiai Amin Rais
  • Kak Iskandar Matrufi
  • Rajab Sujai/Tyson
  • Ustadz Torik
  • Raymond Jeffry/Randai
  • Ustadz Surur
  • Ustadz Faris
  • Ustadz Jamil
  • Ustadz Badil
  • Ustadz Karim
  • Kak Jalal
  • Amir Tsani
  • Pak Yunus
  • Kurdi
  • Ustadz Khalid
  • Shaliha
  • Sarah
  • Mbok Warsi
  • Zamzam

Latar[sunting | sunting sumber]

(Latar tempat)

Pondok Madami (PM), merupakan tempat di mana tokoh-tokoh seperti Alif, Raja, Said, Dulmajid, Atang dan Baso serta Kak Iskandar dan Rajab Sutai (Tyson) pertama kali menginjakkan kaki untuk belajar dan menyebarkan ilmu. Belajar di PM, seperti yang dilakukan guru-guru seperti Ustad Salman, Ustad Torik dan lainnya. Selain itu, PM juga merupakan tempat tinggal kepala pesantren Kiai Rais dan pejabat senior lainnya. Seperti dikutip di bawah ini.

"Pondok Madani diberkati oleh energi yang membuat kami sangat menikmati belajar dan selalu ingin belajar berbagai macam ilmu. Lingkungannya membuat orang yang tidak belajar menjadi orang aneh. Belajar keras adalah gaya hidup yang fun, hebat dan selalu dikagumi. Karena itu, cukup sulit untuk menjadi pemalas di PM". 110

Selain Pondok Madani, Danau Maninjau di Sumatera Barat juga menjadi lokasi Tanah Lima Menara, tempat lahir dan tempat tinggal Alif dan Amak serta ayahnya. Seperti yang tertera pada kutipan di bawah ini.

"Sebelum meninggalkan rumah, aku cium tangan Amak sambil minta doa dan minta ampun atas kesalahanku... Baik- baik di rantau urang, Nak. Amak percaya ini perjalanan untuk membela agama. Belajar ilmu agama sama dengan berjihad di jalan Allah," kata beliau."111

"Selamat tinggal Bayur, kampung kecil yang permai. Halaman depan kami Danau Maninjau yang berkilau-kilau, kebun belakang kami bukit hijau berbaris. "112

Demikian juga di Washington, D.C., Alif bekerja sebagai reporter VAO. Beberapa tempat, jalan, dan bangunan atau bangunan disebutkan saat menggambarkan Washington, DC. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini.

"Kantorku berada di Independence Avenue, jalan yang selalu riuh dengan pejalan kaki dan lalu lintas mobil. Diapit dua tempat tujuan wisata terkenal di ibukota Amerika Serikat, The Capitol and The Mall, tempat berpusatnya aneka museum Smithsonian yang tidak bakal habis dijalani sebulan. Posisi kantorku hanya sepelemparan batu dari The Capitol, beberapa belas menit naik mobil ke kantor George Bush di Gedung Putih, kantor Colin Powel di Department of State, markas FBI, dan Pentagon. Lokasi impian banyak wartawan, "113

Kota Bandung merupakan kediaman Atang, salah satu anggota Sahibul Menara. Selama liburan dua minggu setelah ujian, Alif dan Baso memutuskan untuk tidak tinggal di PM melainkan pergi ke Bandung untuk berlibur. Selama berada di Bandung, Atang selaku tuan rumah mengajak Alif dan Basso berkeliling Bandung setelah sempat mengaji di Masjid Dipati Ukur Unpad pada hari pertama. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini.

"Besoknya Atang mengajak kami keliling Bandung naik angkot. Sesuai janji, Atang yang membayari ongkos. Dimulai dari melihat alam yang hijau Dago Pakar, melihat keramaian kota di Dago, Gedung Sata, toko pakaian di Cihampelas, keriuhan Alun-alun dan mencari buku-buku bekas dan murah di Palasari." Di hari berikutnya atas permintaanku, Atang juga mengajak kami masuk ke dalam kampus ITB di Jalan Ganesha dan Masjid Salman yang terkenal itu,"114

Tiga hari menjelang berakhirnya liburan mereka, Alif, Basso dan Atang menyempatkan diri singgah di Surabaya sebelum kembali ke Kantor Perdana Menteri. Surabaya merupakan kediaman Said, salah satu anggota Sahibul Menara. Di Kota Surabaya, Said mengajak mereka berkeliling sebagai tuan rumah, mulai dari mengunjungi toko miliknya di Pasar Ampel, pasar tertua di Surabaya, hingga berbagai tempat wisata di sekitar Surabaya. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini.

"...Said, dengan senang hati mengajak kami keliling ke berbagai objek wisata disekitar Surabaya, seperti Tunjungan Plaza, Jembatan Merah, dan Kebun Binatang."115

London juga merupakan salah satu lokasi yang secara eksplisit disebutkan dalam Negeri Lima Menara. Saat itu, Alif ditugaskan berangkat ke London untuk mewawancarai Perdana Menteri Inggris Tony Blair, dan misi pribadinya adalah diundang menghadiri World Interfaith Forum. Di sana ia bertemu Atang dan Raja, anggota Sahibul Menara pasca sarjana Perdana Menteri, yang sudah sebelas tahun tidak ia temui. Beberapa tempat, bangunan atau bangunan disebutkan ketika menggambarkan London. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini.

"Tidak lama kemudian aku sampai di Trafalgar Square, sebuah lapangan beton yang amat luas. Dua air mancur besar memancarkan air tinggi ke udara dan mengirim tempias dinginnya ke wajahku. Square ini dikelilingi museum berpilar tinggi, gedung opera, dan kantor-kantor berdinding kelabu, tepat di tengah kesibukan London. 116

(Latar sosial)

Novel tersebut menggambarkan kehidupan di pesantren, tempat yang penuh dengan nilai-nilai agama, kedisiplinan, persahabatan dan perjuangan. Interaksi antara santri, ustadz dan lingkungan pesantren sangat mendalam dan membentuk karakter tokoh protagonis. Kehidupan keluarga Maninjau dan interaksi sosial di sekitar pesantren menambah kedalaman cerita. Nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong serta dukungan moral orang tua dan sahabat sangat terasa dalam cerita.

Teman sekamarku berteriak girang dan mereka segera merebung dengan piring kosong terlurur ke arahku. Satu potong rendang untuk satu orang. Suatu tradisi kami, siapa pun yang menerima rezeki paket dari rumah, maka dia harus berbagi dengan kami sebagai lauk tambahan di dapur umum nanti, sama rasa sama rata, seperti gaya sosialis. (hlm. 270) Dari kutipan tersebut terlihat betapa kompaknya para penghuni pondok tersebut.

Tema[sunting | sunting sumber]

  • Persahabatan
  • Kerja keras dan ketekunan
  • Pendidikan dan nilai-nilai agama

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hidayat, Yeni (2021-10-09). KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA DALAM NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI. Penerbit YLGI. hlm. 2. 
  2. ^ "RESENSI NOVEL NEGERI 5 MENARA – SMA Martia Bhakti" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-07-08. 
  3. ^ Wicaksono, Arif; S, Naas Haryati; Sumartini, Sumartini (2014-10-24). "NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI SEBAGAI PILIHAN BAHAN AJAR SASTRA INDONESIA DI SMA". Jurnal Sastra Indonesia (dalam bahasa Inggris). 3 (1): 4. ISSN 2685-9599.