Lompat ke isi

School belonging

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Anak-anak sekolah yang bahagia

Istilah school belonging atau rasa memiliki terhadap sekolah berasal dari artikel akademik 1993 oleh peneliti Carol Goodenow dan Kathleen Grady. Kedua peneliti tersebut mendeskripsikan istilah school belonging sebagai "sejauh mana siswa merasa diterima, dihormati, diakui, dan didukung oleh orang lain secara pribadi di lingkungan sosial yang ada di sekolah".[1][2] Istilah school belonging biasanya mencakup perasaan siswa yang terhubung dan terikat dengan sekolah serta keterlibatan siswa dengan komunitas sekolah.[3][4][5] Siswa yang tidak merasakan school belonging dalam lingkungan sekolah mereka sering menganggap diri mereka teralienasi.[3] Beberapa istilah yang serupa dengan school belonging seperti keterhubungan terhadap sekolah, atau keterikatan terhadap sekolah, dan keterlibatan terhadap sekolah sering digunakan secara bergantian dalam beberapa penelitian mengenai pendidikan.[2][6]

School belonging ditentukan oleh berbagai faktor seperti prestasi dan motivasi akademik, karakteristik pribadi, hubungan sosial, karakteristik demografis, suasana sekolah, serta partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler.[2][4][7] Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa school belonging memiliki implikasi yang signifikan bagi siswa. Hal ini disebabkan karena school belonging pada dasarnya memiliki kaitan dengan hasil akademik, penyesuaian psikologis, kebahagiaan, pembentukan identitas, kesehatan mental, dan kesehatan fisik yang ada pada siswa. Keterkaitan tersebut membuat school belonging dianggap sebagai aspek yang mendasar dari perkembangan siswa.[2][4][8][9] School belonging merupakan hal yang sangat penting bagi remaja karena mereka berada dalam masa transisi dan pembentukan identitas. Meki merupakan hal yang penting, tetapi beberapa penelitian menemukan bahwa school belonging pada siswa menurun secara signifikan ketika mereka memasuki masa remaja.[4][7]

Psychological Sense of School Membership (PSSM) yang dikembangkan pada tahun 1993 merupakan salah satu metode pengukuran yang bertujuan untuk memastikan sejauh mana siswa merasakan rasa memiliki terhadap sekolah atau school belonging. Dalam metode pengukuran tersebut, siswa dapat menilai sejauh mana mereka setuju atau tidak setuju dengan pernyataan seperti "Orang-orang di sini memperhatikan ketika saya pandai dalam sesuatu." Pada tahun 2003, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit mengadakan konvensi internasional di mana mereka mengembangkan Wingspread Declaration on School Connection dalam rangka membuat sekumpulan strategi untuk meningkatkan hubungan dan school belonging siswa-siswa tersebut.

Prevalensi dan perkembangan

[sunting | sunting sumber]

Penelitian menunjukkan bahwa banyak siswa yang memiliki kekurangan dalam hal school belonging.[3][10] Program Penilaian Pelajar Internasional (PPPI) pernah menyelidiki rasa kepemilikan dan ketidakpuasan terhadap siswa di seluruh dunia sejak tahun 2003. Pengumpulan data terbaru mereka diadakan pada tahun 2018. Sekitar 600.000 siswa yang mewakili 32 juta populasi pada usia 15 tahun (berusia antara 15 tahun 3 bulan dan 16 tahun 2 bulan) dari 79 negara berpartisipasi dalam penelitian PPPI tahun 2018 ini.[11] Analisis dari PPPI mengungkapkan bahwa sebagian besar siswa di seluruh dunia kurang mempunyai perasaan memiliki yang kuat terhadap sekolah. Rata-rata, sepertiga dari semua siswa yang disurvei merasa bahwa mereka bukan bagian dari sekolah mereka.[11] Selain itu, PPPI menemukan bahwa satu dari lima siswa merasa seperti orang luar di sekolah mereka sendiri dan satu dari enam laporan menyatakan bahwa siswa merasa kesepian. Pada sebagian besar institusi pendidikan, siswa yang secara sosial ekonominya rendah merasa dirinya kurang dalam hal school belonging.[11] Rata-rata school belonging pada siswa menurun 2% antara tahun 2015 dan 2018. Persentase siswa yang tidak merasa menjadi bagian dari sekolah mereka sendiri telah meningkat sejak tahun 2003 yang mana ini menunjukkan penurunan tren school belonging secara global.[2][3]

Dalam beberapa penelitian yang berbeda, school belonging cenderung terlihat menurun seiring bertambahnya usia siswa. Dalam suatu penelitian yang melibatkan siswa dari Amerika Latin, Asia, dan Eropa, peneliti Cari Gillen-O'Neel dan Andrew Fuligni menemukan bahwa siswa umumnya melaporkan tingkat rasa school belonging yang tinggi di saat mereka masih kanak-kanak. Namun, begitu siswa beralih ke sekolah menengah dan mulai memasuki masa remaja, persepsi mereka tentang school belonging yang mereka miliki turun secara signifikan.[10] Penelitian lain juga menemukan bahwa rasa school belonging siswa di sekolah menurun saat transisi dari sekolah menengah pertama ke sekolah menengah atas. Para siswa ini juga menunjukkan peningkatan gejala depresi dan penurunan dukungan sosial yang dapat dianggap sebagai penyebab atau konsekuensi dari penurunan rasa memiliki terhadap sekolah.[12] Tren penurunan ini kemudian direplikasi dalam banyak penelitian lain, yang mana itu menunjukkan bahwa rasa school belonging di sekolah menurun begitu siswa mencapai masa remaja.[13]

Faktor penentu

[sunting | sunting sumber]

Sebuah meta-analisis dari 51 penelitian (N = 67,378) oleh K. Allen dkk. (2018) mengidentifikasi bahwa ada beberapa faktor, baik pada tingkat individu dan sosial yang dapat mempengaruhi school belonging.[7] Beberapa faktor-faktor tersebut dapat meliputi faktor akademik, karakteristik pribadi, hubungan sosial, karakteristik demografis, suasana sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler.[7] Untuk banyak faktor penentu school belonging, kemungkinan masing-masing memiliki hubungan timbal balik dengan school belonging yang ada pada siswa. Hal itu berarti semua faktor tersebut dapat berfungsi, baik sebagai anteseden maupun konsekuensi.[7]

Faktor akademik

[sunting | sunting sumber]

Beberapa penelitian mendokumentasikan pengaruh faktor akademik (seperti prestasi, motivasi, daya tahan, dan minat terhadap sekolah) pada school belonging yang dimiliki siswa.[7][9] Prestasi akademik, atau keterampilan dan kompetensi seseorang di sekolah sering dianggap sebagai indikator penting dari school belonging. Misalnya, sebuah penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa (IPK) yang dianggap sebagai ukuran umum prestasi akademik secara positif terkait dengan rasa kepemilikan terhadap sekolah. Hal ini berarti bahwa siswa yang memiliki nilai rata-rata tinggi juga memiliki rasa school belonging yang lebih tinggi.[2] Beberapa penelitian juga menemukan beberapa ukuran motivasi akademik menjadi penentu dari school belonging. Motivasi akademik ini dapat meliputi beberapa perilaku seperti pengerjaan PR, penetapan tujuan, harapan keberhasilan, dan usaha serta keterlibatan siswa di dalam kelas.[2][7][14] Carol Goodenow dan Kathleen Grady menemukan masing-masing sub-cabang motivasi akademik tersebut dapat menjadi parameter signifikan dari persepsi siswa tentang school belonging.[1] Penelitian yang lebih baru telah mereplikasi temuan ini dan menunjukkan bahwa motivasi akademik memiliki peran penting dalam mengembangkan school belonging.[2] Selain itu, nilai sekolah yang dimiliki siswa dapat mempengaruhi rasa memiliki terhadap sekolah mereka. Ketika mereka menganggap tugas mereka sebagai suatu pelajaran yang bermakna dan berharga, maka lebih besar peluang siswa tersebut untuk melaporkan school belonging mereka yang lebih besar.[14]

Karakteristik pribadi

[sunting | sunting sumber]

Karakteristik pribadi dapat mengacu pada kualitas siswa yang dimiliki secara khusus. Karakteristik pribadi tersebut dapat meliputi sifat, kepribadian, emosi, dan atribut yang sering diidentifikasi sebagai penentu penting dari school belonging.[2][7][15] Karakteristik pribadi dapat diklasifikasikan sebagai karakteristik yang positif maupun negatif. Karakteristik pribadi positif seperti harga diri, efikasi diri, pengaruh positif, dan pengendalian emosi yang efektif telah terbukti membantu menumbuhkan rasa memiliki terhadap sekolah pada siswa. Sebuah penelitian oleh Xin Ma menemukan bahwa harga diri siswa memiliki dampak terbesar pada rasa kepemilikan terhadap sekolah dibandingkan dengan semua faktor pribadi lainnya.[16] Sebaliknya, karakteristik pribadi yang negatif seperti kecemasan, gejala depresi, stres yang meningkat, pengaruh negatif, dan penyakit mental dapat menurunkan persepsi siswa tentang rasa kepemilikan terhadap sekolah.[2] Ketidakstabilan emosional juga dapat mempengaruhi rasa kepemilikan terhadap sekolah dengan mempengaruhi pengalaman pendidikan siswa secara negatif.[7]

Hubungan sosial

[sunting | sunting sumber]

Hubungan sosial memiliki keterlibatan dalam pengembangan school belonging.[2] Ada korelasi positif yang besar antara school belonging dengan hubungan sosial yang positif dengan teman sebaya, guru, dan orang tua.[17] Dukungan, penerimaan, dan dorongan dari sumber-sumber tersebut dapat membantu siswa mengembangkan perasaan bahwa mereka sangat terhubung dengan sekolah mereka.[2][7]

Teman sebaya

[sunting | sunting sumber]
Anak-anak sekolah di sebuah sekolah di Tanzania

Relasi teman sebaya merupakan salah satu hal yang berkontribusi langsung bagi pengembangan school belonging yang siswa miliki.[2][5][18] Hubungan sosial yang positif dengan teman sebaya dapat meliputi perasaan akan penerimaan, koneksi, dorongan, dukungan akademik dan sosial, kepercayaan, kedekatan, dan kepedulian.[7] Jika hal-hal semacam itu yang dapat ditemui pada hubungan teman sebaya, maka ini dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap sekolah yang dipunyai siswa secara signifikan.[7][17] Namun, apabila siswa merasa ditolak atau tidak didukung oleh teman sebayanya, siswa tersebut bisa saja mengalami kecemasan, stres, dan keterasingan. Hal ini mengubah persepsi mereka pada sekolah karena lingkungan sekolah yang mereka hadapi tampak tidak menyenangkan dan menyulitkan. Hal itu kemudian membuat para siswa tersebut akhirnya lebih sulit untuk mengidentifikasi dan menghubungkan diri dengan sekolahnya.[2][7]

Orang tua

[sunting | sunting sumber]

Hubungan dengan orang tua dapat memiliki implikasi yang signifikan terhadap school belonging, mengingat bahwa orang tua biasanya yang mengatur hubungan sosial pertama siswa.[19] Hubungan orang tua yang positif dapat meliputi beberapa tindakan seperti memberi dukungan akademis dan sosial, pemberian komunikasi yang baik, dorongan, kasih sayang, penerimaan, dan keamanan. Hal-hal semacam itu dalam hubungan orang tua-anak sering dianggap berperan besar dalam menumbuhkan school belonging siswa karena dapat mempengaruhi hubungan yang siswa rasakan dengan lingkungan sekolah mereka.[7]

Guru dan murid, Lansing, Michigan, 1960

Guru juga dianggap sebagai pihak yang memiliki peran penting terhadap perasaan school belonging siswa.[3][7] Beberapa studi akademis sering mengidentifikasi dukungan guru sebagai indikator terkuat terhadap school belonging dibandingkan dengan dukungan dari teman sebaya atau orang tua.[7][14] Guru dapat membantu menanamkan school belonging dengan menciptakan suasana kelas yang aman dan nyaman, memberikan dukungan akademik dan sosial, menumbuhkan rasa hormat siswa di antara teman sebayanya, serta memperlakukan siswa secara adil.[2] Guru juga dapat meningkatkan school belonging siswa dengan bersikap ramah, mudah didekati, dan berusaha untuk terhubung dengan siswa mereka.[7] Beberapa tindakan guru yang dapat meningkatkan rasa school belonging siswa antara lain mencakup pemberian dukungan kepada siswa selama proses pembelajaran, memuji perilaku dan kinerja positif siswa, memberikan siswa memiliki otonomi di dalam kelas, dan menggunakan beberapa tekanan akademik seperti pemberian harapan yang tinggi kepada siswa.[3][7][14]

Karakteristik demografis

[sunting | sunting sumber]

Jenis kelamin

[sunting | sunting sumber]

Hubungan antara gender dengan school belonging masih dianggap belum jelas karena beberapa penelitian menghasilkan kesimpulan yang bertentangan.[2] Beberapa penelitian menemukan perbedaan gender dalam persepsi school belonging. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan memiliki rasa school belonging yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.[2][5] Sedangkan di sisi lain, ada penelitian yang menemukan efek sebaliknya dan menyimpulkan bahwa laki-laki memiliki rasa school belonging yang lebih tinggi daripada perempuan.[20] Penelitian yang lainnya malah menunjukkan bahwa rasa memiliki terhadap sekolah sama sekali tidak berkaitan dengan gender.[7]

Ras dan etnis

[sunting | sunting sumber]

Serupa dengan penelitian mengenai efek gender pada rasa memiliki terhadap sekolah, beberapa penelitian yang berfokus pengaruh ras dan etnis pada school belonging menemukan hubungan yang signifikan antara kedua hal tersebut, meski penelitian yang lain menunjukkan hasil yang bertentangan dengan penelitian tersebut.[2] Sebagai contoh, sebuah penelitian menemukan bahwa siswa kulit hitam mengalami perasaan memiliki terhadap sekolah yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa kulit putih.[20] Namun, penelitian yang lain malah menghasilkan kesimpulan yang berlawanan atau tidak menemukan pengaruh signifikan ras terhadap school belonging.[2]

Suasana sekolah

[sunting | sunting sumber]

Suasana sekolah dapat memiliki konsekuensi yang signifikan bagi siswa karena suasana sekolah yang dapat membentuk persepsi siswa mengenai bagaimana pengalaman mereka semasa sekolah.[4][7][16] Suasana sekolah secara luas bisa mengacu pada suasana psikis yang ada pada lingkungan sekolah dan kualitas sekolah itu sendiri. Suasana sekolah dapat meliputi dimensi fisik (misalnya struktur bangunan yang mencukupi), dimensi sosial (misalnya hubungan interpersonal), maupun dimensi akademik (misalnya kualitas pengajaran).[21] Suasana sekolah dapat mempengaruhi rasa memiliki terhadap sekolah melalui ada atau tidaknya dukungan perasaan siswa terhadap hubungan dan keterikatan dengan sekolah mereka.[7][16] Salah satu aspek penting dari suasana sekolah adalah keamanan sekolah. Keamanan sekolah sangatlah penting, karena hal itu dapat mencakup beberapa variabel seperti kebijakan keamanan sekolah, peraturan kedisiplinan, prevalensi intimidasi, dan keadilan. Keamanan sekolah dianggap sebagai penentu penting bagi rasa kepemilikan terhadap sekolah.[4][7] Persepsi yang lebih tinggi tentang keamanan sekolah sangat berkaitan erat dengan siswa yang memiliki perasaan school belonging yang lebih besar.[4]

Kegiatan ekstrakulikuler

[sunting | sunting sumber]
Girls' Representative Cross Country 2016, diadakan di Yarra Valley Grammar School, Victoria, Australia.

Penelitian telah menunjukkan bahwa terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler dapat secara positif mempengaruhi persepsi siswa tentang sekolah mereka.[4][17] Misalnya, peneliti Casey Knifsend dan Sandra Graham menemukan bahwa siswa yang berpartisipasi dalam dua kegiatan ekstrakurikuler melaporkan bahwa siswa tersebut memiliki rasa school belonging yang lebih besar dibandingkan dengan siswa yang berpartisipasi kurang dari dua kegiatan ekstrakurikuler.[22] Penelitian lain telah mereplikasi hubungan ini dan menyoroti pentingnya berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan rasa memiliki terhadap sekolah. Kegiatan ekstrakurikuler dapat mempengaruhi rasa memiliki terhadap sekolah dengan menyediakan interaksi kolaboratif dan jangka panjang antara siswa dengan teman sebayanya.[4]

Perspektif sosio-ekologis

[sunting | sunting sumber]
Model Sosio-ekologi Sekolah Milik Kelly-Ann Allen, Dianne Vella-Brodrick, dan Lea Waters, 2016.[23]

Kumpulan dari faktor-faktor penentu school belonging dapat dikonseptualisasikan dalam model sosio-ekologis. Socio-ecological Model of School Belonging yang dikembangkan oleh Allen dkk. (2016), merupakan hasil adaptasi dari teori sistem Sosio-ekologis Bronfenbrenner (1979)[24] yang digunakan untuk menggambarkan sistem sekolah secara keseluruhan serta berbagai hal yang berpengaruh secara dinamis terhadap school belonging.[4] Dalam model tersebut, Allen menggambarkan siswa sebagai pusat dari lingkungan sekolah mereka. Lingkaran pada bagian dalam menggambarkan berbagai faktor yang bersifat biologis dan faktor individu yang mempengaruhi school belonging.[4][2] Faktor-faktor tersebut meliputi ciri-ciri biologis dan karakteristik pribadi siswa seperti stabilitas emosional dan motivasi akademik. Lingkup sistem mikro dalam lingkaran tersebut mewakili hubungan dengan orang lain, khususnya, guru, teman sebaya, dan orang tua.[4] Kebijakan dan praktik sekolah yang terjadi dalam kegiatan sehari-hari dalam sekolah dan eksosistem yang mewakili tingkat yang lebih luas serta dapat mencakup komunitas sekolah yang lebih luas merupakan hal yang mewakili dalam sistem pertengahan.[4] Sedangkan penggambaran konteks budaya sekolah yang mungkin dipengaruhi oleh letak geografis sekolah, iklim sosial eksternal, dan faktor-faktor lain seperti sejarah, undang-undang, dan prioritas yang didorong oleh pemerintah merupakan hal yang mewakili pada lingkup sistem makro.[4]

Konsekuensi

[sunting | sunting sumber]

Kesehatan dan penyesuaian psikologis

[sunting | sunting sumber]

School belonging memiliki banyak konsekuensi bagi kesehatan dan penyesuaian psikologis siswa.[2][7] Penelitian telah menunjukkan bahwa ketika siswa mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah yang lebih besar, kesehatan mental mereka akan meningkat.[25] Hal ini ditunjukkan dengan tingkat stabilitas emosional yang lebih besar,[2] tingkat depresi yang lebih rendah,[12][13] berkurangnya stres,[17] dan peningkatan emosi positif seperti kebahagiaan dan kebanggaan pada siswa.[26] Perasaan memiliki terhadap sekolah juga sering digunakan untuk memprediksi harga diri,[15][27] konsep diri,[7][17] dan nilai diri. Siswa yang memiliki rasa school belonging yang tinggi juga mempunyai pengalaman transisi kehidupan yang lebih positif karena tingginya school belonging dapat berimplikasi penting bagi kesehatan dan penyesuaian psikologis.[17]

Di sisi lain, siswa yang tidak memiliki rasa school belonging kuat berisiko mengalami sejumlah gangguan kesehatan psikologis dan mental.[2] Siswa yang tidak memiliki rasa school belonging mempunyai risiko yang lebih besar secara signifikan untuk mempunyai kecemasan, depresi, pengaruh negatif, ide bunuh diri, dan pengembangan secara keseluruhan terhadap penyakit mental. Kurangnya perasaan school belonging juga dapat meningkatkan perasaan penolakan sosial dan keterasingan para siswa.[2][13]

Pengembangan dan hasil akademik

[sunting | sunting sumber]
Dua siswa dari Akademi Xavier di Nepal belajar di perpustakaan 2016.

School belonging juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan dan hasil akademik siswa.[2] School belonging berhubungan erat dengan harapan keberhasilan siswa, usaha di sekolah, dan nilai yang dirasakan dari sekolah.[1][10][28] School belonging yang lebih besar telah terbukti meningkatkan keterlibatan dan partisipasi siswa baik di dalam sekolah maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler. Demikian pula, rasa kepemilikan terhadap sekolah dikaitkan dengan komitmen yang lebih besar terhadap sekolah.[1][5] Perasaan memiliki terhadap sekolah yang tinggi juga terbukti meningkatkan kinerja dan prestasi akademik siswa secara keseluruhan, seperti dalam hal peningkatan nilai rata-rata.[7][15][26] School belonging juga dapat meningkatkan keyakinan siswa akan kemampuannya untuk berhasil di sekolah.[2][7]

Penelitian menunjukkan bahwa rasa memiliki terhadap sekolah juga dapat mengurangi prevalensi hasil belajar yang buruk. School belonging yang lebih besar dikaitkan dengan penurunan perilaku dan tindakan buruk seperti perkelahian, intimidasi, dan vandalisme.[2][7] Perasaan memiliki terhadap sekolah juga dapat meningkatkan tingkat kehadiran siswa di sekolah yang ditandai dengan berkurangnya frekuensi bolos dan absen.[18] School belonging dapat mengurangi kemungkinan siswa putus sekolah sehingga meningkatkan tingkat penyelesaian sekolah.[2] Sebaliknya, siswa yang tidak memiliki rasa memiliki terhadap sekolah memiliki risiko yang lebih besar untuk putus sekolah atau berpotensi putus sekolah.[1][18]

Kesehatan fisik

[sunting | sunting sumber]

School juga berimplikasi bagi kesehatan fisik siswa.[2] Siswa yang mempunyai school belonging yang tinggi menunjukkan penurunan risiko terkena stroke atau penyakit lainnya.[17] Rasa kepemilikan terhadap sekolah juga memiliki kaitan dengan tingkat kematian yang lebih rendah bagi siswa.[29] Selain itu, school belonging memiliki kaitan dengan penurunan perilaku yang mengundang risiko, seperti penggunaan narkoba dan tembakau, serta melakukan kegiatan seksual ketika masih dini. Dengan kata lain, siswa yang memiliki school belonging yang lebih tinggi cenderung tidak terlibat dalam kegiatan yang bersifat negatif.[7][30]

Pengukuran

[sunting | sunting sumber]

Ada sejumlah metode pengukuran yang digunakan untuk menilai rasa kepemilikan terhadap sekolah. Metode yang paling umum digunakan antara lain adalah:

Psychological Sense of School Membership (PSSM)

[sunting | sunting sumber]

Salah satu medode pengukuran school belonging adalah skala Psychological Sense of School Membership (PSSM), yang dikembangkan oleh Carol Goodenow pada tahun 1993.[2][30] Skala ini mengukur school belonging serta perasaan menjadi bagian dari sekolah dari siswa. Metode ini bekerja dengan meminta siswa menanggapi 18 item mengenai perasaan dan pengalaman pribadi mereka di sekolah. Metode ini dirancang untuk digunakan pada siswa dari segala usia dan kebangsaan. Siswa menjawab item dalam skala mulai dari 1 sampai 5, di mana 1 menunjukkan Sama sekali tidak benar, dan 5 menunjukkan Sangat benar. Item tersebut dimaksudkan untuk mengukur persepsi siswa tentang penerimaan, dukungan akademik dan sosial, nilai, dan kepuasan dalam hubungan sosial mereka di sekolah. Berikut adalah beberapa contoh item yang ditanggapi oleh siswa: "Orang-orang di sini memperhatikan ketika saya pandai dalam sesuatu", "Siswa lain menanggapi pendapat saya dengan serius", dan "Saya merasa seperti bagian nyata dari sekolah ini".[30] Penelitian telah menemukan bahwa skala PSSM memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi sehingga metode ini membuktikan statusnya sebagai metode pengukuran yang penting dan fungsional terutama dalam hal pengukuran school belonging.[2]

Hemingway Measure of Adolescent Connectedness (HMAC)

[sunting | sunting sumber]

Hemingway Measure of Adolescent Connectedness (HMAC) dibuat oleh Michael Karcher pada tahun 1999 dan telah digunakan dalam penelitian sebagai metode pengukuran terhadap school belonging untuk remaja secara khusus.[31] Metode pengukuran ini berisi 74 item yang memiliki skala mulai dari 1 (Sama sekali tidak benar) hingga 5 (Sangat benar). Metode ini menguji persepsi remaja tentang keterhubungan, atau keterlibatan mereka dengan dan penilaian dari dukungan sosial secara khusus dan umum yang mereka terima pada tiga sub-kategori: keterhubungan sosial, keterhubungan akademik, dan keterhubungan keluarga. Komponen keterhubungan sosial mengukur perasaan koneksi remaja terhadap teman, lingkungan, dan diri mereka sendiri. Keterhubungan akademik mengukur perasaan keterhubungan remaja dengan sekolah, guru, teman sebaya, dan kemampuan akademik yang ada pada diri mereka. Terakhir, komponen keterhubungan keluarga yang mengukur perasaan keterhubungan remaja dengan orang tua, saudara kandung, agama, dan juga leluhur mereka. Item yang mengukur school belonging dalam metode ini secara khusus dapat berupa: "Saya merasa baik tentang diri saya ketika saya di sekolah", "Saya bergaul dengan baik dengan siswa lain di kelas saya" dan "Saya senang berada di sekolah".[31] Metode pengukuran ini sering digunakan untuk generalisasi pada remaja di seluruh dunia.[32]

School Connectedness Scale (SCS)

[sunting | sunting sumber]

Jill Hendrickson Lohmeier dan Steven W. Lee menciptakan metode School Connectedness Scale (SCS) pada tahun 2011 untuk menilai hubungan teman sebaya, orang dewasa, dan sekolah siswa dalam tiga kategori berbeda. Tiga kategori tersebut antara lain adalah dukungan umum (kebersamaan), dukungan khusus (keterkaitan), dan keterlibatan (keterhubungan). Skala tersebut mencakup 54 item yang disajikan dalam skala mulai dari 1 hingga 5, di mana 1 berarti "Tidak sepenuhnya benar" dan 5 berarti "Sepenuhnya benar". Beberapa item termasuk "Siswa di sekolahku saling membantu", "Aku banyak terlibat dalam kegiatan di sekolahku, seperti klub atau tim", "Guru di sekolahku sangat peduli dengan siswa mereka", dan "Aku suka menghabiskan waktu dengan teman sekelasku". SCS sering digunakan sebagai bahan generalisasi kepada siswa dari populasi yang beragam, termasuk usia dan etnis yang berbeda.[33]

School Engagement Instrument (SEI)

[sunting | sunting sumber]

School Engagement Instrument (SEI) dirancang oleh James Appleton, Sandra Christenson, Dongjin Kim, dan Amy Reschly pada tahun 2006 dan biasanya digunakan untuk mengukur persepsi school belonging.[34] Metode ini mencakup 35 item dengan skala satu dari empat yang mana 4 berarti Sangat setuju hingga nomor 1 yang berarti Sangat tidak setuju. Metode ini biasanya digunakan untuk mengukur keterlibatan aspek kognitif dan afektif siswa dalam lingkungan sekolah. Item dikategorikan ke dalam enam sub-domain: "tujuan dan aspirasi masa depan, kontrol dan relevansi tugas sekolah, motivasi ekstrinsik, dukungan keluarga untuk belajar, dukungan rekan untuk belajar, dan hubungan guru-murid." Isi dari SEI biasanya seperti: “Secara keseluruhan, guruku terbuka dan jujur kepadaku”, “ Siswa di sekolahku selalu ada untukku ketika aku membutuhkan mereka”, “Ketika aku memiliki masalah di sekolah, keluarga/waliku mau untuk mendengarnya", dan "Apa yang aku pelajari di kelas akan menjadi penting untuk masa depanku."[34]

Implikasi dalam praktik

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 2003, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mengadakan konvensi internasional untuk mengembangkan taktik untuk memperkuat persepsi siswa terhadap school belonging.[2] Mereka menciptakan Wingspread Declaration on School Connection yang menghasilkan strategi berikut untuk meningkatkan rasa memiliki dan koneksi siswa terhadap sekolah mereka: [35]

  1. Menerapkan standar dan harapan yang tinggi, dan memberikan dukungan akademik kepada semua siswa.
  2. Menerapkan kebijakan disiplin yang adil dan konsisten yang disepakati bersama dan ditegakkan secara adil.
  3. Menciptakan hubungan saling percaya di antara siswa, guru, staf, administrator, dan keluarga.
  4. Mempekerjakan dan mendukung guru yang cakap yang terampil dalam konten, teknik pengajaran, dan manajemen kelas untuk memenuhi kebutuhan setiap pelajar.
  5. Membina harapan orang tua/keluarga yang tinggi terhadap prestasi sekolah dan penyelesaian sekolah.
  6. Memastikan bahwa setiap siswa merasa dekat dengan setidaknya satu orang dewasa yang mendukung di sekolah
—"Wingspread Declaration on School Connection", Jurnal Kesehatan Sekolah[35]

CDC kemudian mengembangkan karya Wingspread Declaration tersebut pada tahun 2009 dengan melakukan tinjauan yang komprehensif dan sistematis tentang rasa kepemilikan dan keterhubungan terhadap sekolah menggunakan sumber-sumber dari peneliti ahli, pemerintah, pendidik, dll. Pengembangan ini menghasilkan empat strategi tambahan untuk meningkatkan persepsi siswa tentang rasa memiliki di dalam sekolah:[36]

  1. Dukungan Orang Dewasa: Anggota staf sekolah dapat mendedikasikan waktu, minat, perhatian, dan dukungan emosional mereka kepada siswa.
  2. Menjadi bagian dari Kelompok Teman yang Positif: Jaringan teman sebaya yang stabil dapat meningkatkan persepsi siswa tentang sekolah.
  3. Komitmen terhadap Pendidikan: Percaya bahwa sekolah penting untuk masa depan mereka dan memahami bahwa orang dewasa di sekolah berinvestasi dalam pendidikan mereka dapat membantu siswa terlibat dalam pembelajaran mereka sendiri dan terlibat dalam kegiatan sekolah.
  4. Lingkungan Sekolah: Lingkungan fisik dan iklim psikososial dapat mengatur taraf persepsi siswa yang positif tentang sekolah.
—"School Connectedness: Strategies for Increasing Protective Factors Among Youth", Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit[36]

Implikasi dalam praktik pada tingkat siswa

[sunting | sunting sumber]

Intervensi tingkat siswa juga dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap sekolah. Penelitian telah menunjukkan bahwa kesempatan belajar sosial dan emosional juga dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap sekolah pada siswa.[37] Banyak karakteristik individu yang ditemukan dapat meningkatkan school belonging pada siswa dapat diajarkan kepada siswa lain. Dengan demikian, hai itu dapat memberikan dukungan dalam peningkatan rasa memiliki terhadap sekolah pada siswa tersebut. Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa pengajaran pengendalian emosi, keterampilan dalam mengatasi masalah, keterampilan interpersonal, dan keterampilan yang berkaitan dengan motivasi akademik menjanjikan untuk mendukung peningkatan school belonging pada siswa.[7][38]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e Goodenow, Carol; Grady, Kathleen E. (1993). "The Relationship of School Belonging and Friends' Values to Academic Motivation Among Urban Adolescent Students". The Journal of Experimental Education (dalam bahasa Inggris). 62 (1): 60–71. doi:10.1080/00220973.1993.9943831. ISSN 0022-0973. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af Allen, Kelly-Ann; Kern, Margaret L. (2017). School Belonging in Adolescents: Theory, Research and Practice. SpringerBriefs in Psychology (dalam bahasa Inggris). Singapore: Springer Singapore. doi:10.1007/978-981-10-5996-4. ISBN 978-981-10-5995-7. 
  3. ^ a b c d e f Willms, Jon D. (2003). Student Engagement at School: A Sense of Belonging and Participation: Results from PISA 2000. PISA (dalam bahasa Inggris). OECD. doi:10.1787/9789264018938-en. ISBN 978-92-64-01892-1. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n Allen, Kelly-Ann; Vella-Brodrick, Dianne; Waters, Lea (2016). "Fostering School Belonging in Secondary Schools Using a Socio-Ecological Framework". The Educational and Developmental Psychologist (dalam bahasa Inggris). 33 (1): 97–121. doi:10.1017/edp.2016.5. ISSN 2059-0776. 
  5. ^ a b c d Osterman, Karen F. (2000). "Students' Need for Belonging in the School Community". Review of Educational Research (dalam bahasa Inggris). 70 (3): 323–367. doi:10.3102/00346543070003323. ISSN 0034-6543. 
  6. ^ Allen, K. A.; Bowles, T. (2012). "Belonging as a Guiding Principle in the Education of Adolescents" (PDF). Australian Journal of Educational and Developmental Psychology. 12: 109. 
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac Allen, Kelly; Kern, Margaret L.; Vella-Brodrick, Dianne; Hattie, John; Waters, Lea (2018). "What Schools Need to Know About Fostering School Belonging: a Meta-analysis". Educational Psychology Review (dalam bahasa Inggris). 30 (1): 1–34. doi:10.1007/s10648-016-9389-8. ISSN 1040-726X. 
  8. ^ Arslan, G.; Allen, K.; Ryan, T. (2020). "Exploring the Impacts of School Belonging on Youth Wellbeing and Mental Health]: A Longitudinal Study". Child Indicators Research. doi:10.1007/s12187-020-09721-z. 
  9. ^ a b Abdollahi, A.; Panahipour, S.; Tafti, M. A.; Allen, K. A. (2020). "Academic hardiness as a mediator for the relationship between school belonging and academic stress". Psychology in the Schools: 345. doi:10.1080/00220671.2016.1261075. 
  10. ^ a b c Neel, Cari Gillen-O'; Fuligni, Andrew (2013). "A Longitudinal Study of School Belonging and Academic Motivation Across High School". Child Development (dalam bahasa Inggris). 84 (2): 678–692. doi:10.1111/j.1467-8624.2012.01862.x. ISSN 1467-8624. PMID 23002809. 
  11. ^ a b c "PISA 2018: Combined Executive Summary Report Report" (PDF). Secretary-General of the OECD. 2019. Diakses tanggal 6 Maret 2022. 
  12. ^ a b Newman, Barbara M.; Newman, Philip R.; Griffen, Sarah; O'Connor, Kerry; Spas, Jayson (2007). "The relationship of social support to depressive symptoms during the transition to high school". Adolescence. 42 (167): Abstrak. ISSN 0001-8449. PMID 18047232. 
  13. ^ a b c Anderman, Eric M. (2002). "School effects on psychological outcomes during adolescence". Journal of Educational Psychology (dalam bahasa Inggris). 94 (4): 795–809. doi:10.1037/0022-0663.94.4.795. ISSN 1939-2176. 
  14. ^ a b c d Anderman, Lynley H. (2003). "Academic and Social Perceptions as Predictors of Change in Middle School Students' Sense of School Belonging" (PDF). The Journal of Experimental Education. 72 (1): 5–22. doi:10.1080/00220970309600877. ISSN 0022-0973. 
  15. ^ a b c Sirin, Selcuk R.; Rogers-Sirin, Lauren (2004). "Exploring School Engagement of Middle-Class African American Adolescents". Youth & Society (dalam bahasa Inggris). 35 (3): 323–340. doi:10.1177/0044118X03255006. ISSN 0044-118X. 
  16. ^ a b c Ma, Xin (2003). "Sense of Belonging to School: Can Schools Make a Difference?". The Journal of Educational Research. 96 (6): Abstrak. doi:10.1080/00220670309596617. ISSN 0022-0671. 
  17. ^ a b c d e f g Slaten, Christopher D.; Ferguson, Jonathan K.; Allen, Kelly-Ann; Brodrick, Dianne-Vella; Waters, Lea (2016). "School Belonging: A Review of the History, Current Trends, and Future Directions". The Educational and Developmental Psychologist (dalam bahasa Inggris). 33 (1): 1–15. doi:10.1017/edp.2016.6. ISSN 2059-0776. 
  18. ^ a b c St-Amand, Jerome; Girard, Stephanie; Smith, Jonathan (2017). "Sense of Belonging at School: Defining Attributes, Determinants, and Sustaining Strategies" (PDF). IAFOR Journal of Education (dalam bahasa Inggris). 5 (2). doi:10.22492/ije.5.2.05. ISSN 2187-0594. 
  19. ^ Fatma Uslu, Sıdıka Gizir (2017). "School Belonging of Adolescents: The Role of Teacher–Student Relationships, Peer Relationships and Family Involvement". Educational Sciences: Theory and Practice: 21–40. 
  20. ^ a b Bonny, Andrea E.; Britto, Maria T.; Klostermann, Brenda K.; Hornung, Richard W.; Slap, Gail B. (2000-11-01). "School Disconnectedness: Identifying Adolescents at Risk". Pediatrics (dalam bahasa Inggris). 106 (5): 1017–1021. doi:10.1542/peds.106.5.1017. ISSN 0031-4005. PMID 11061769. 
  21. ^ Loukas, Alexandra (2007). "What is School Climate?". National Association of Elementary School Principals. 5 (1): 1–3. 
  22. ^ Knifsend, Casey A.; Graham, Sandra (2012). "Too Much of a Good Thing? How Breadth of Extracurricular Participation Relates to School-Related Affect and Academic Outcomes During Adolescence". Journal of Youth and Adolescence (dalam bahasa Inggris). 41 (3): 379–389. doi:10.1007/s10964-011-9737-4. ISSN 0047-2891. PMID 22160442. 
  23. ^ Allen, Kelly-Ann; Vella-Brodrick, Dianne; Waters, Lea (July 2016). "Fostering School Belonging in Secondary Schools Using a Socio-Ecological Framework". The Educational and Developmental Psychologist (dalam bahasa Inggris). 33 (1): 97–121. doi:10.1017/edp.2016.5. ISSN 2059-0776. 
  24. ^ Bronfenbrenner, U. (1979). The ecology of human development: Experiments by nature and design. Cambridge, MA: Harvard University Press. Page 5.
  25. ^ Jose, Paul E.; Ryan, Nicholas; Pryor, Jan (2012). "Does Social Connectedness Promote a Greater Sense of Well-Being in Adolescence Over Time?". Journal of Research on Adolescence (dalam bahasa Inggris). 22 (2): 235–251. doi:10.1111/j.1532-7795.2012.00783.x. ISSN 1532-7795. 
  26. ^ a b O'Rourke, John; Cooper, Martin (2010). "Lucky To Be Happy: A Study of Happiness in Australian Primary Students" (PDF). Australian Journal of Educational and Developmental Psychology. 10: 94–107. 
  27. ^ Begen, Fiona M.; Turner-Cobb, Julie M. (2015). "Benefits of belonging: Experimental manipulation of social inclusion to enhance psychological and physiological health parameters" (PDF). Psychology & Health (dalam bahasa Inggris). 30 (5): 568–582. doi:10.1080/08870446.2014.991734. ISSN 0887-0446. PMID 25420618. 
  28. ^ Goodenow, Carol (1991). "The Sense of Belonging and Its Relationship to Academic Motivation Among Pre- and Early Adolescent Students". Education Resources Information Center. 
  29. ^ Holt-Lunstad, Julianne; Smith, Timothy B.; Layton, J. Bradley (2010). "Social Relationships and Mortality Risk: A Meta-analytic Review". PLOS Medicine (dalam bahasa Inggris). 7 (7): e1000316. doi:10.1371/journal.pmed.1000316. ISSN 1549-1676. PMC 2910600alt=Dapat diakses gratis. PMID 20668659. 
  30. ^ a b c Goodenow, Carol (1993). "The psychological sense of school membership among adolescents: Scale development and educational correlates" (PDF). Psychology in the Schools (dalam bahasa Inggris). 30 (1): 79–90. doi:10.1002/1520-6807(199301)30:1<79::AID-PITS2310300113>3.0.CO;2-X. ISSN 1520-6807. 
  31. ^ a b Karcher, Michael (1999). The Hemingway Measure of Adolescent Connectedness: A Manual for Interpretation and Scoring (PDF). University of Wisconsin, Madison. hlm. 1–15. 
  32. ^ Karcher, Michael; Lee, Yun (2001-11-30). "Connectedness among Taiwanese Middle School Students: A Validation Study of the Hemingway Measure of Adolescent Connectedness". Asia Pacific Education Review. 3 (1): 92–114. doi:10.1007/BF03024924. 
  33. ^ Lohmeier, Jill Hendrickson; Lee, Steven W. (2011). "A school connectedness scale for use with adolescents". Educational Research and Evaluation (dalam bahasa Inggris). 17 (2): 85–95. doi:10.1080/13803611.2011.597108. ISSN 1380-3611. 
  34. ^ a b Appleton, James J.; Christenson, Sandra L.; Kim, Dongjin; Reschly, Amy L. (2006). "Measuring cognitive and psychological engagement: Validation of the Student Engagement Instrument" (PDF). Journal of School Psychology (dalam bahasa Inggris). 44 (5): 427–445. doi:10.1016/j.jsp.2006.04.002. 
  35. ^ a b W. Blum, Robert (2005). "A Case for School" (PDF). Educational Leadership (dalam bahasa Inggris): 20. 
  36. ^ a b "School Connectedness: Strategies for Increasing Protective Factors Among Youth" (PDF). Centers for Disease Control and Prevention. 2009. 
  37. ^ Allen, K. A.; Vella-Brodrick, D.; Waters, L. (2017). "School belonging and the role of social and emotional competencies in fostering an adolescent's sense of connectedness to their school". Social and Emotional Learning in Australia and the Asia-Pacific: Perspectives, Programs and Approaches (edisi ke-1st). Singapore, Singapore: Springer: 83. doi:10.1007/978-981-10-3394-0_5. ISBN 978-981-10-3393-3. 
  38. ^ Allen, Kelly-Ann; Kern, Peggy (June 18, 2019). Boosting School Belonging: Practical Strategies to Help Adolescents Feel Like They Belong at School (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 10. ISBN 978-1-351-39588-5. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]