Lompat ke isi

Teknologi pembekuan makanan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Teknologi pembekuan makanan adalah teknologi mengawetkan makanan dengan menurunkan temperaturnya hingga di bawah titik beku air. Hal ini berlawanan dengan pemrosesan termal, di mana makanan dipaparkan ke temperatur tinggi dan memicu tegangan termal terhadap makanan, dapat mengakibatkan hilangnya nutrisi, perubahan rasa, tekstur, dan sebagainya, atau pemrosesan kimia dan fermentasi yang dapat mengubah sifat fisik dan kimia makanan. Makanan beku umumnya tidak mengalami hal itu semua; membekukan makanan cenderung menjaga kesegaran makanan. Makanan beku menjadi favorit konsumen melebihi makanan kaleng atau makanan kering, terutama di sektor hasil peternakan (daging dan produk susu), buah-buahan, dan sayur-sayuran.

Hampir semua jenis bahan makanan dapat dibekukan (bahan mentah, setengah jadi, hingga makanan siap konsumsi) dengan tujuan pengawetan. Proses pembekuan makanan melibatkan pemindahan panas dari produk makanan. Hal ini akan menyebabkan membekunya kadar air di dalam makanan dan menyebabkan berkurangnya aktivitas air di dalamnya. Menurunnya temperatur dan menghilangnya ketersediaan air menjadi penghambat utama pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas enzim di dalam produk makanan, menyebabkan makanan menjadi lebih awet dan tidak mudah membusuk. Keunggulan dari teknik pembekuan makanan adalah semua hal tersebut dapat dicapai dengan mempertahankan kualitas makanan seperti nilai nutrisi, sifat organoleptik, dan sebagainya.

Teknik pembekuan makanan sudah dikenal sejak lama sekali, sedangkan teknik pembekuan dengan campuran garam-es diperkenalkan pada tahun 1800an di dua tempat, yaitu di Inggris (oleh H. Benjamin pada tahun 1842) dan di Amerika Sarikat (oleh Enoch Piper pada tahun 1861) yang keduanya memanfaatkannya untuk mendinginkan ikan. Komersialisasi teknik pembekuan makanan baru dimulai di akhir abad ke 19 ketika alat pendingin mekanis, yang saat ini disebut dengan lemari es, ditemukan. Dan di pertengahan abad ke 20, makanan beku mulai ikut bersaing dengan makanan kalengan dan makanan kering.[1]

Penurunan titik beku

[sunting | sunting sumber]

Titik beku adalah temperatur di mana kristal es dan air berada dalam keadaan ekuilibrium; titik di mana air tepat membeku atau es tepat mencair. Air murni membeku pada temperatur 0oC pada tekanan atmosfer. Titik beku makanan berada di bawah titik beku air murni, hal ini dikarenakan makanan mengandung berbagai campuran berbagai macam zat dan masing-masing saling memengaruhi sehingga menurunkan titik beku. Level titik beku suatu makanan tergantung pada konsentrasi zat-zat dalam makanan.

Proses pembekuan

[sunting | sunting sumber]

Ketika makanan dipaparkan ke temperatur dingin, produk makanan tersebut akan kehilangan panas akibat laju pindah panas yang terjadi dari makanan ke medium bertemperatur rendah di sekitarnya. Permukaan makanan akan mengalami penurunan temperatur lebih cepat dibandingkan dengan bagian dalamnya.

Jumlah air yang membeku dalam produk makanan tergantung pada temperatur pembekuan; kandungan campuran zat makanan amat memengaruhi hal tersebut. Umumnya, semakin cair suatu bahan makanan, jumlah air yang membeku akan semakin banyak. Tetapi, kuning telur masih menyisakan lebih dari 20 persen air meski sudah didinginkan hingga minus 40oC. Hal ini dikarenakan kandungan protein yang tinggi yang terlarut dalam air. Kekurangan teknik pembekuan adalah sulitnya membekukan kandungan air yang ada dalam bahan makanan secara sempurna sehingga masih menyisakan risiko pertumbuhan mikroorganisme; untuk mengatasinya diperlukan pendinginan lebih jauh lagi untuk menghentikan aktivitas enzim mikroorganisme dan/atau membekukan lebih banyak air, namun hal itu tidaklah ekonomis.

Perubahan fase dan formasi kristal es

[sunting | sunting sumber]

Ketika temperatur produk makanan diturunkan hingga di bawah titik beku air, air mulai membentuk kristal es. Pembentukan kristal es dapat disebabkan oleh kombinasi molekul-molekul air yang disebut dengan nukleasi homogenik, atau pembentukan inti di sekitar partikel tersuspensi yang dikenal dengan nama nukleasi heterogen.[2] Nukleasi homogen terjadi dalam kondisi di mana zat terbebas dari zat pengotor yang pada umumnya berperan sebagai inti ketika terjadi proses pembekuan. Nukleasi heterogen terjadi ketika molekul-molekul air bersatu dengan agen nukleasi seperti benda asing, zat tak terlarut, atau bahkan dinding pembungkus.[3] Nukleasi heterogen adalah tipe yang umum terjadi dalam proses pembekuan makanan.

Tipe ketiga dari proses nukleasi, yang disebut dengan pembentukan inti sekunder, terbentuk ketika kristal-kristal membelah. Tipe kristalisasi ini memberikan ukuran kristal yang seragam, dan umum terjadi pada proses pembekuan makanan cair (Franks, 1987).

Umumnya, dalam proses pembekuan makanan, temperatur berkurang mulai dari temperatur awal di atas titik beku hingga beberapa derajat di bawah titik beku. Dalam proses ini, temperatur di 0 hingga -5oC disebut zona kritis yang diperlukan oleh makanan dalam pembentukan kristal-kristal es. Lamanya waktu yang diperlukan bagi makanan dalam melalui zona kritis ini menentukan jumlah dan ukuran kristal es yang terbentuk. Proses pembekuan yang cepat akan membentuk sejumlah besar kristal es berukuran kecil, sedangkan pendinginan dalam waktu yang lambat akan membentuk sejumlah kecil kristal es berukuran besar. Pembekuan yang lambat memberikan waktu bagi molekul-molekul air untuk bermigrasi menuju inti yang akan bersatu dengannya untuk membentuk agregat kristal es sehingga menghasilkan kristal es berukuran besar. Pembentukan kristal es berukuran besar ini akan memengaruhi struktur makanan dan menyebabkan hilangnya kualitas makanan. Kristal es yang besar akan menusuk dinding sel produk makanan dan merusaknya. Kerusakan akan semakin besar dengan semakin lambatnya laju pembekuan.[4] Solusi terbaik adalah dengan mencegah terjadinya kristalisasi ini dengan risiko meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme yang dapat merusak makanan karena temperatur yang masih memungkinkan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Solusi dari masalah tersebut adalah dengan menambahkan protein anti beku yang dapat menurunkan titik beku air dan mencegah kristalisasi pada temperatur yang sangat rendah.[5]

Perkiraan waktu pembekuan

[sunting | sunting sumber]

Semua produk makanan mengandung berbagai jenis zat terlarut. Sangat sulit untuk menentukan pada temperatur berapa seluruh air dalam produk makanan akan membeku, dikarenakan keberadaan zat terlarut dalam makanan menurunkan titik beku.

Laju pendinginan yang memengaruhi waktu pembekuan yang diperlukan produk makanan kualitas produk makanan dapat didefinisikan oleh selisih antara temperatur awal produk makanan dan temperatur akhir pembekuan dibagi dengan waktu. (oC/s). Dapat juga didefinisikan dengan rasio dari selisih antara temperatur permukaan dan temperatur bagian dalam produk makanan dengan waktu yang dibutuhkan bagi permukaan produk makanan untuk mencapai temperatur 0oC dan bagian dalam produk makanan untuk mencapai temperatur -5oC.

Perkiraan waktu pembekuan adalah faktor utama dalam melakukan pembekuan makanan. Waktu pembekuan menentukan kapasitas alat pendingin yang dibutuhkan dalam melakukan pembekuan.

Faktor yang memengaruhi lamanya proses pembekuan adalah konduktivitas termal, kalor jenis, ketebalan, massa jenis, dan luas permukaan produk makanan serta selisih temperatur antara produk makanan dengan medium pendinginan dan resistansi laju pindah panas. Perkiraan waktu pembekuan semakin sulit dilakukan karena konduktivitas termal, massa jenis, dan kalor jenis produk makanan bervariasi bergantung pada temperatur awal, ukuran, dan bentuk dari makanan.

Semakin besar ukuran produk makanan, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pembekuan akan semakin lama. Hal ini dikarenakan meningkatnya kalor laten dan jumlah kalor yang harus dipindahkan. Peningkatan ukuran makanan juga meningkatkan resistansi internal terhadap laju pindah panas, sehingga membutuhkan waktu lebih lama dalam pembekuan.

Alat pembekuan

[sunting | sunting sumber]

Tipe peralatan yang digunakan untuk produk tertentu ditentukan oleh berbagai faktor. Sensivitas produk, ukuran, dan bentuk produk makanan serta kualitas akhir yang diperlukan, laju produksi, ketersediaan ruang, kapasitas investasi, tipe media pendinginan yang digunakan, dan sebagainya. Peralatan pembekuan secara umum dapat dikelompokan sebagai berikut:

  • Memanfaatkan kontak langsung dengan permukaan dingin; produk makanan, baik dalam keadaan dikemas atau tidak, diekspos secara langsung dengan permukaan dingin, logam, lempengan, dan sebagainya.
  • Memanfaatkan media udara sebagai media pendinginan; udara dalam temperatur yang sangat dingin digunakan dalam mendinginkan produk makanan. Air blast, spray udara, fluidized bed juga termasuk dalam metode tersebut.
  • Menggunakan cairan sebagai coolant. Dalam hal ini, cairan yang bertemperatur sangat rendah, titik didih yang rendah, serta memiliki konduktivitas termal yang tinggi digunakan dalam mendinginkan produk makanan. Cairan disemprotkan ke produk atau produk direndam ke dalam cairan. Termasuk dalam metode ini adalah cryogenic.

Kontak langsung dengan permukaan dingin

[sunting | sunting sumber]

Dalam pembekuan sistem lempengan dingin, lempengan seolah menjadi pembungkus produk makanan tersebut. Lempengan dapat berupa lempengan ganda atau lempengan banyak yang didinginkan dengan berbagai cara. Ruang udara di antara lempeng dan pembungkus dapat menambah resistansi hambatan laju transfer kalor, sehingga ruang antara lempengan harus diminimalisasi menyesuaikan dengan ukuran produk makanan. Dan itulah yang menjadi keuntungan dari metode ini; bentuk dan ukuran lempengan dapat disesuaikan dengan ukuran produk makanan. Keuntungan lainnya adalah, pembekuan dapat dilakukan dengan cepat dari berbagai sisi produk makanan, karena logam memiliki konduktivitas termal yang tinggi sehingga transfer panas dapat melaju dengan cepat.

Pembekuan dengan lempengan-lempengan seperti ini cenderung lebih menghemat ruang karena penyusunan letak makanan yang rapih dan terstruktur.

Pembekuan dengan memanfaatkan media udara

[sunting | sunting sumber]

Adalah tipe pembekuan yang umum, yaitu ruang pendingin yang diisi oleh udara yang didinginkan. Keuntungannya adalah, dengan memanfatkan aliran konveksi, temperatur dingin dapat disebarkan hingga ke sudut ruangan secara efisien, namun koefisien transfer panas konvektif udara cenderung kecil sehingga pembekuan perlu dilakukan dalam waktu yang lebih lama akibat rendahnya laju transfer panas. Semakin besar ruangan, semakin kecil kalor yang dapat dipindahkan dalam satuan waktu tertentu. Hilangnya berat dari produk juga dapat terjadi akibat kontak langsung antara produk dan air yang mampu mengangkat kandungan air dalam produk makanan, terutama jika temperatur dan kelembaban memungkinkan.

Sirkulasi udara dapat dilakukan secara alami maupun secara mekanis dengan menggunakan kipas.

Pembekuan dengan menggunakan cairan

[sunting | sunting sumber]

Umumnya, produk makanan direndam dalam cairan pendingin yang didinginkan. Cairan yang digunakan berupa cairan yang memiliki titik didih rendah namun memiliki kemampuan menyerap panas yang tinggi, misalnya glikol atau cairan lainnya yang disebut coolant. Makanan cair juga dapat didinginkan dengan cara ini asalkan dikemas terlebih dahulu sebelum direndam. Umumnya tidak ada kontak langsung antara produk makanan dengan cairan pendingin, karena berisiko merusak kualitas produk makanan.

Penyemprotan makanan juga termasuk metode ini, dengan menggunakan cairan pendingin yang sejenis. Makanan dialirkan dengan konveyor, lalu dilakukan penyemprotan. Setelah dilakukan penyemprotan, umumnya produk makanan dibekukan dengan memanfaatkan media udara seperti aliran udara dingin. Cara ini menjadikan makanan menjadi beku lebih cepat dibandingkan tanpa cairan pendingin.

Dengan metode cryogenic, makanan dapat dibekukan dengan cara yang cepat. Makanan direndam dalam cairan cryogenik yang disebut dengan cryogen. Cryogen yang umum digunakan misalnya nitrogen cair dan karbon dioksida cair. Nitrogen cair memiliki titik didih yang sangat rendah, yaitu -196oC, sedangkan karbon dioksida cair memiliki titik didih -79oC. Cryogen cenderung tidak berbau, tidak berwarna, dan inert sehingga tidak akan bereaksi dengan bahan makanan padat walau pendinginan dilakukan dalam keadaan tanpa dikemas dan memengaruhi kualitas makanan kecuali terhadap temperatur dinginnya itu sendiri. Selain itu, cryogen memiliki laju transfer panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan cairan pendingin lainnya.

Pada proses pembekuan dengan cryogenic, pendinginan awal perlu dilakukan untuk mencegah keretakan akibat turunnya temperatur secara drastis karena volum produk makanan mengalami perubahan volum yang sangat cepat ketika terendam dalam cryogen. Mempertahankan temperatur sangat mungkin karena cryogen yang menguap memiliki koefisien transfer kalor konvektif yang sangat tinggi.

Modifikasi terbaru dari pendingin cryogenic adalah pendingin cryomechanical yang menggabungkan metode perendaman produk dalam cairan cryogen dan metode mekanik yaitu menggunakan konveyor tipe sprayer, spiral, ataupun belt yang memanfaatkan uap cryogen. Hal ini akan mengurangi waktu pendinginan, mengurangi hilangnya berat produk makanan, meningkatkan kualitas produk, dan meningkatkan efisiensi.[6]

Pengaruh pembekuan dan penyimpanan beku terhadap makanan

[sunting | sunting sumber]

Setiap penambahan maupun pengurangan panas yang dilakukan terhadap makanan akan membawa beberapa perubahan terhadap makanan tersebut. Pendinginan akan mengubah air menjadi es, dan sifat makanan akan ditentukan oleh sifat es tersebut. Pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas enzim ditentukan oleh berkurangnya aktivitas air dalam makanan beku. Jumlah dan ukuran inti es yang terbentuk cukup memengaruhi kualitas produk dalam hal tingkat kerusakan dinding sel bakteri dan juga struktur jaringan produk makanan. Kehilangan berat dan mengeringnya permukaan umumnya kekurangan kualitas yang tidak diinginkannya. Kondisi penyimpanan dan transportasi, terutama fluktuasi temperatur akan memengaruhi kristalisasi es dan kualitas produk.

Efek terhadap karakter fisik

[sunting | sunting sumber]

Ketika air diubah menjadi es, volumenya bertambah 9% (air memiliki volume terkecil pada temperatur 4oC lalu bertambah volumenya seiring penurunan temperatur, sifat anomali air).[7] Jika produk makanan tersebut mengandung banyak air, maka hal yang sama akan terjadi, namun kadar air, temperatur pendinginan, dan keberadaan ruang antar sel amat memengaruhi perubahan volume tersebut.

Kerusakan sel juga mungkin terjadi akibat pendinginan; hal ini diakibatkan gerakan kristal es atau kondisi osmotik sel. Produk daging tidak mengalami kerusakan sebesar produk buah-buahan dan sayuran karena struktur fibrous yang dimiliki daging lebih elastis dibandingkan struktur buah dan sayur yang cenderung kaku.

Kehilangan berat akibat pendinginan juga menjadi masalah karena selain masalah kualitas, hal ini juga merupakan masalah ekonomi jika produk dijual berdasarkan berat produk. Produk yang tidak dikemas akan mengalami kehilangan berat lebih besar akibat perpindahan tingkat kelembaban menuju wilayah yang bertekanan lebih rendah akibat kontak langsung dengan media pendinginan.

Cracking atau terbentuknya retakan pada permukaan hingga bagian dalam produk juga bisa terjadi, terutama ketika produk makanan dibekukan dengan cara direndam ke dalam cairan pendingin atau cryogen yang menyebabkan terbentuknya lapisan beku di permukaan makanan. Lapisan ini melawan peningkatan volume dari dalam sehingga produk akan mengalami stress di bagian dalamnya. Jika lapisan beku yang terbentuk cukup rapuh, akan terjadi retakan. Sifat produk seperti porositas, ukuran, modulus elastisitas, dan densitas amat memengaruhi terjadinya keretakan tersebut. Perubahan densitas terjadi akibat bertambahnya volume, dan ini bisa ditangani dengan pendinginan dalam kondisi tekanan tinggi.

Efek terhadap bahan penyusun makanan

[sunting | sunting sumber]

Pendinginan akan mengurangi aktivitas air pada makanan. Mikroorganisme tidak dapat tumbuh pada kondisi aktivitas air yang rendah dan temperatur di bawah nol. Organisme patogen tidak bisa tumbuh pada temperatur di bawah 5oC, namun tipe organisme lainnya memiliki respon yang berbeda. Sel vegetatif ragi, jamur, dan bakteri gram negatif akan hancur pada temperatur rendah, namun bakteri gram positif dan spora jamur diketahui tidak dipengaruhi oleh temperatur rendah. Protein akan mengalami denaturasi dalam temperatur dingin yang mengakibatkan perubahan penampilan produk, tetapi nilai nutrisinya tidak terjadi walau terjadi denaturasi selama berat tidak berkurang. Pembekuan tidak memengaruhi kandungan vitamin A, B, D, dan E, namun memengaruhi kandungan vitamin C.

Efek pembekuan terhadap sifat termal makanan

[sunting | sunting sumber]

Pengetahuan tentang sifat termal produk makanan dibutuhkan dalam mendesain proses pembekuan dan alat yang dibutuhkan, termasuk juga kapasitas pemindahan panas.

Sifat termal beberapa produk makanan beku pada kandungan air tertentu

Produk makanan (kadar air, %) Kalor jenis (kJ/kg K) Kalor laten (kJ/kg)
Apel (84) 1,88 280
Kacang-kacangan (89) 1,96 296,8
Kol (92) 1,96 305,1
Persik (87) 1,92 288,4
Pisang (75) 1,76 255
Semangka (92) 2,0 305,1
Wortel (88) 1,88 292,6
Daging ikan (70) 1,67 275,9
Daging sapi (75) 1,67 255
Roti (32-37) 1,42 108,7-221,2
Susu (87,5) 2,05 288,4
Telur (-) 1,67 288,4
Telur tidak dicantumkan kadar airnya karena pada umumnya setiap butir telur mengandung kadar air yang sama

Konduktivitas termal es adalah 4 kali konduktivitas termal air (konduktivitas termal es adalah 2,24 W/m K, konduktivitas termal air adalah 0,56 W/m K) sehingga konduktivitas termal makanan beku umumnya 3-4 kali lebih besar dibandingkan makanan yang tidak dibekukan. Selama tahap awal pembekuan, peningkatan konduktivitas termal berlangsung cepat. Untuk makanan yang kaya kandungan lemaknya, variasi konduktivitas termal terhadap temperatur dapat diabaikan, namun dalam kasus produk daging, orientasi serat otot memengaruhi konduktivitas termal[8]

Kalor jenis es hanya setengahnya dari kalor jenis air. Selama masa pendinginan, kalor jenis produk makanan menurun. Pengukuran kalor jenis cukup rumit karena terdapat perubahan fase berkelanjutan dari air ke es. Kalor laten dari produk makanan dapat diperkirakan dari fraksi air yang ada pada makanan.[9] Difusivitas termal dari makanan beku bisa diperkirakan dari massa jenis, kalor jenis, dan termal konduktivitas. Digabungkan dengan data mengenai konduktivitas termal dan kalor jenis es terhadap air, dapat diperkirakan bahwa makanan beku memiliki nilai difusivitas termal 9-10 kali lebih besar dibandingkan dengan makanan yang tidak dibekukan.[1]

Pengembangan teknik pembekuan

[sunting | sunting sumber]

Pembekuan dengan tekanan tinggi

[sunting | sunting sumber]

Metode pembekuan konvensional, terutama dalam kasus makanan berukuran besar, akan menyebabkan terbentuknya gradien temperatur yang besar. Permukaan produk makanan akan mengalami percepatan pembekuan yang lebih cepat dibandingkan dengan bagian dalamnya, sehingga pada bagian permukaan makanan akan memiliki sejumlah besar kristal es berukuran kecil sedangkan bagian dalamnya akan memiliki sejumlah kecil kristal es berukuran besar. Hal ini akan menyebabkan kehilangan kualitas produk.

Pembekuan konvensional juga akan menyebabkan peningkatan volume dari produk dan menyebabkan kerusakan jaringan. Ketika pembekuan dilakukan pada tekanan tinggi, peningkatan volume dapat dicegah dan antara permukaan dan bagian dalam produk makanan akan mengalami pembekuan dalam kecepatan yang tidak jauh berbeda sehingga pembentukan kristal es akan homogen pada bagian permukaan dan bagian dalam produk makanan.

Dehydrofreezing

[sunting | sunting sumber]

Adalah metode pembekuan makanan yang diaplikasikan khususnya pada makanan berkadar air tinggi. Makanan didehidrasikan untuk memenuhi kadar air yang diperlukan sebelum dibekukan. Ketika produk seperti buah dan sayuran segar dengan kadari air tinggi dibekukan, masalah utama yang mengganggu kualitas adalah peningkatan volume akibat kadar air di dalamnya yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan.[10][11][12] Dehidrasi parsial dapat dilakukan dengan pengering udara konvensional atau pengeringan osmotik. Dehidrasi parsial dapat memberikan berbagai keuntungan, diantaranya menurunkan beban transfer kalor produk makanan, mempermudah dan mengurangi biaya penyimpanan, penanganan, dan pengiriman.

Konservasi energi dalam proses pembekuan

[sunting | sunting sumber]

Pembekuan adalah kegiatan dengan penggunaan energi yang intensif. Keefektivan biaya dari kegiatan pembekuan tergantung pada beban pendinginan produk makanan yang menentukan besar energi yang dikonsumsi alat pembeku. Memindahkan panas pada awal proses pembekuan merupakan hal yang tersulit dan membutuhkan banyak waktu, sehingga titik akhir pembekuan, yang pada umumnya sulit ditentukan, harus diperkirakan dengan tepat dan amat menentukan total konsumsi energi alat pembeku. Manipulasi bahan penyusun produk makanan, automatisasi alat pendingin, pelacakan perubahan fase air-es, dan sebagainya, juga menjadi hal yang penting dalam penentuan total energi yang dibutuhkan dalam proses pembekuan karena mencegah pemindahan panas yang berlebihan.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Desrosier N. W. dan Desrosier J. W. The Technology of Food Preservation, Edisi Keempat. Westport, CN: AVIPub Co. 1982.
  2. ^ Fellows P. J. Food Processing Technology Principals and Practice, Edisi Kedua. New York: CRC Press. 2000.
  3. ^ Sahagian M. E. dan Goff H. D.. “Fundamental aspects of food freezing process.” In: A maligned and misunderstood concept, (Franks F.), 1987, Cryoletters, 8: 53, 1996.
  4. ^ Otero L., Martino M., Zaritzky N., Solas M., dan Sanz P. D.. “Preservation of microstructure in peach and mango during high pressure shift freezing.” Jurnal Food Sci. 65(3): 466–470, 2000.
  5. ^ Feeney R. E. dan Yeh Y. (1998). “Antifreeze proteins: current status and possible food uses.” Trends Food Sci. Tech. 9: 102–106, 1998.
  6. ^ Agnelli M. E. dan Mascheroni R. H. “Cryomechanical freezing: A model for the heat transfer process.” Jurnal Food Eng. 47: 263–270, 2001.
  7. ^ Kalichevsky M. T., Knorr D., dan Lillford P. J. “Potential food applications of high pressure effects on ice water transitions.” Trends in Food Science and Technology, 6: 253–258, 1995.
  8. ^ Dickerson R. W., Jr. “Thermal properties of foods.” dalam: The Freezing Preservation of Foods, (Tressler D. K., Van Arsdel W. B., dan Kopley M. J., eds), pp 26–51. Westport, CN: The AVI Publishing Co. 1968.
  9. ^ Fennema D., Powrie W. D., dan Marth E. H.. Low temperature preservation of foods and living matter. New York: Marcel Dekker Inc. 1973
  10. ^ Biswal R. N., Bozorgmehr K., Tompkins F. D., dan Liu X. “Osmotic concentration of green beans prior to freezing.” Jurnal Food Sci. 56(4): 1008–1011, 1991.
  11. ^ Garrote R. L. dan Bertone R. A. “Osmotic concentration at low temperature of frozen strawberry halves. Effect of glycerol glucose and sucrose solution on exudates loss during thawing.” Food Sci. Tech. 22: 264–267, 1989.
  12. ^ Robbers M., Singh R. P., dan Cunha L. M.. “Osmotic convective dehydrofreezing process for drying kiwifruit.” Jurnal Food Sci. 62(5): 1039–1042, 1047, 1997.

Bacaan terkait

[sunting | sunting sumber]
  • Agnelli M. E. dan Mascheroni R. H. “Cryomechanical freezing: A model for the heat transfer process.” Jurnal Food Eng. 47: 263–270, 2001.
  • Biswal R. N., Bozorgmehr K., Tompkins F. D., dan Liu X. “Osmotic concentration of green beans prior to freezing.” Jurnal Food Sci. 56(4): 1008–1011, 1991.
  • Cleland A. C. dan Earle R. L. “A comparison of analytical and numerical methods of predicting the freezing times of foods.” Jurnal Food. 42(5): 390–1395, 1977.
  • Cleland A. C. dan Earle R. L. “A comparison of methods for predicting the freezing times of cylindrical and spherical food stuffs.” Jurnal Food Sci. 44(4): 958–963, 970, 1979.
  • Cleland A. C. dan Earle R. L. “Freezing time prediction for foods—a simplified procedure.” Int Jurnal Refri. 5(3): 134–140, 1982.
  • Cleland A. C. dan Earle R. L. “Freezing time predictions for different final product temperatures.” Jurnal Food Sci. 49: 1230, 1984.
  • Dickerson R. W., Jr. “Thermal properties of foods.” dalam: The Freezing Preservation of Foods, (Tressler D. K., Van Arsdel W. B., dan Kopley M. J., eds), pp 26–51. Westport, CN: The AVI Publishing Co. 1968.
  • Desrosier N. W. dan Desrosier J. W. The Technology of Food Preservation, Edisi Keempat. Westport, CN: AVIPub Co. 1982.
  • Earle R. L. Unit operations of food processing, Edisi Kedua. New York: Pergamon Press. 1983.
  • Feeney R. E. dan Yeh Y. (1998). “Antifreeze proteins: current status and possible food uses.” Trends Food Sci. Tech. 9: 102–106, 1998.
  • Fellows P. J. Food Processing Technology Principals and Practice, Edisi Kedua. New York: CRC Press. 2000.
  • Fennema D. dan Powrie W. D.. “Fundamentals of low temperature food preservation.” Adv. Food Res. 13: 219, 1964.
  • Fennema D., Powrie W. D., dan Marth E. H.. Low temperature preservation of foods and living matter. New York: Marcel Dekker Inc. 1973
  • Fricke B. A. dan Becker B. R. “Calculation of Food freezing times and heat transfer coefficients.” ASHRAE Trans. 110(2): 145–157, 2004.
  • Fuchigami M., Kato N., dan Teramoto A. “High pressure freezing effects on textural quality of carrots.” Jurnal Food Sci. 62(4): 804–808, 1997a.
  • Fuchigami M., Kato N., dan Teramoto A. "Histological changes in high pressure frozen carrots." Jurnal Food Sci. 62(4): 809–812, 1997b.
  • Fuchigami M. dan Teramoto A. “Structural and Textural changes in Kinu-tofu due to high pressure freezing.” Jurnal Food Sci. 62(4): 828–832, 1997.
  • Garrote R. L. dan Bertone R. A. “Osmotic concentration at low temperature of frozen strawberry halves. Effect of glycerol glucose and sucrose solution on exudates loss during thawing.” Food Sci. Tech. 22: 264–267, 1989.
  • Goff H. D. “Low temperature stability and the glossy state in frozen foods.” Food Res. Internat. 25: 317, 1992.
  • Heldman D. R. dan Singh R. P. Food Process Engineering, Edisi Kedua. West Port, CN: The AVI Pub Co. 1981.
  • Heldman D. R. “Food Freezing.” Dalam: Handbook of Food engineering, (D. R. Heldman dan D. B. Lund, eds.) New York: Marcel Dekker Inc. 1992.
  • Hsieh R. C., Lerew L. E., dan Heldman D. R. “Prediction of freezing times for foods as influenced by product properties.” Jurnal Food Proc. Engr. 1: 183, 1977.
  • Huns Y. C. dan Thompson D. R. “Freezing time prediction for slab shape food stuffs by an improved analytical method.” Jurnal Food Sci. 48: 555, 1983.
  • I.I.R. Recommendations for processing and handling of frozen foods, Edisi Kedua. International Institute of Refrigeration, Paris, 1971.
  • Jeremiah L. E. Freezing effects on food quality. New York: Marcel Dekker Inc. 1996.
  • Kalichevsky M. T., Knorr D., dan Lillford P. J. “Potential food applications of high pressure effects on ice water transitions.” Trends in Food Science and Technology, 6: 253–258, 1995.
  • Kessler H. G. Food and Bioprocess Engineering. Muenchen: Verlag H. Kessler. 2002.
  • Kim N. K. dan Hung Y. C.. “Freeze cracking of foods as affected by physical properties.” Jurnal Food Sci. 59(3): 669–674, 1994.
  • Knorr D., Scfleveter O., dan Heinz V.. “Impact of high hydrostatic pressure on phase transitions of foods.” Food Tech. 52(9): 42–45, 1998.
  • Leiva M. L. dan Hallstrom B. “The original Plank’s equation and its use in the development of food freezing rate predictions.” Jurnal Food Sci. 58: 267–275, 2003.
  • Leniger H. A. dan Beverloo W. A. Food Process Engineering. D. Reidel, Dordrecht, pp 351–398, 1975.
  • Lentz C. P. “Thermal conductivity of meats, fats, gelatin gels and ice.” Food Technol. 15: 243–247, 1961.
  • Michelis A. D. dan Calvelo A. “Freezing time predictions for Brick and cylindrical shaped foods.” Jurnal Food Sci. 48: 909, 1983.
  • Norwig J. F. dan Thompson D. R. “Review of dehydration during freezing.” Trans. ASAE. 1619–1624, 1984.
  • Otero L., Martino M., Zaritzky N., Solas M., dan Sanz P. D.. “Preservation of microstructure in peach and mango during high pressure shift freezing.” Jurnal Food Sci. 65(3): 466–470, 2000.
  • Panye S. R. dan Young O. A.. “Effect of preslaughter administration of antifreeze proteins on frozen meat quality.” Meat Sci. 4l: 147–155, 1995.
  • Rahman M. S. “Food Preservation by Freezing.” dalam: Handbook of Food Preservation, (Rahman M. S., ed.). New York: Marcel Dekker Inc. 1999.
  • Robbers M., Singh R. P., dan Cunha L. M.. “Osmotic convective dehydrofreezing process for drying kiwifruit.” Jurnal Food Sci. 62(5): 1039–1042, 1047, 1997.
  • Sahagian M. E. dan Goff H. D.. “Fundamental aspects of food freezing process.” In: A maligned and misunderstood concept, (Franks F.), 1987, Cryoletters, 8: 53, 1996.
  • Salvadori V. O. dan Mascheroni R. H. “Analysis of impingement freezers performance.” Jurnal Food Eng. 54: 133–140, 2002.
  • Sheen S. dan Whitney L. F. “Modeling Heat Transfer in fluidized beds of large particles and its application in the freezing of large food items.” Jurnal Food Eng. 12: 249–265, 1990.
  • Singh R. P. dan Wang C. Y. “Quality of frozen foods—a review.” Jurnal Food Proc. Pres. 2: 249–264, 1977.
  • Smith J. G., Eda A. J., dan Gene R. “Thermal Conductivity of frozen foods stuffs.” Mod. Refri. 55: 254, 1952.
  • Volz F. E. dan Gortner W. A. “The effect of desiccation on frozen vegetables.” Food Technol. 3: 307–313, 1949.
  • Woodams E. E. dan Nowrey J. E. “Literature values of thermal conductivity of foods.” Food Tech. 22(4): 150, 1968.
  • Yin Li-Jung, Chen M., Tzeng S., Chiou T., and Jiang S. “Properties of extra cellular ice nucleating substances from pseudomonas fluorescents MACH-4 and its effect on the freezing of some food materials.” Fish. Sci. 71: 941–947, 2005.