Penyerahan kalah Jepun

Penyerahan Empayar Jepun pada penghujung Perang Dunia Ke-2
Semakan 3265834 pada 15:55, 22 Ogos 2013 oleh Addbot (bincang | sumb.) (Bot: Migrating interwiki links, now provided by Wikidata on d:q6540361)

Jepun menyerah pada bulan Ogos 1945 menandakan berakhirnya Perang Dunia II. Angkatan Laut Empayar Jepun secara efektif sudah tidak wujud sejak Ogos 1945, sementara Serangan Sekutu terhadap Jepun hanya menunggu masa. Walaupun keinginan untuk melawan hingga titik penghabisan dinyatakan secara terbuka, pemimpin Jepun dari Dewan Penasihat Ketenteraan Jepun secara pribadi memohon Kesatuan Soviet untuk berperanan sebagai perantaraan dalam perjanjian damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepun. Sementara itu, Kesatuan Soviet juga bersiap-siap untuk menyerang Jepun dalam usaha memenuhi janji kepada Amerika Syarikat dan Ingeris dalam Persidangan Yalta.

Disaksikan Jeneral Richard K. Sutherland, Menteri Luar Negeri Jepun Mamoru Shigemitsu menandatangani Surat Cara Penyerahan Kalah Jepun di atas kapal USS Missouri, 2 September 1945.

Pada 6 Ogos dan 9 Ogos, Amerika Syarikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Ogos, Kesatuan Soviet melancarkan serbuan mendadak ke koloni Jepun di Manchuria (Manchukuo) yang melanggar Pakatan Berkecuali Soviet–Jepun. Maharaja Hirohito campur tangan setelah berlaku dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Tentera untuk menerima syarat-syarat yang ditawarkan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di belakang tabir selama beberapa hari, dan cubaan rampasan kuasa yang gagal, Maharaja Hirohito menyampaikan titah radio di hadapan rakyat pada 15 Ogos 1945. Dalam titah radio yang disebut Gyokuon-hōsō (Siaran Suara Maharaja), Hirohito membacakan Perintah Empayar tentang Penyerahan kalah, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepun telah menyerah.

Pendudukan Jepun oleh Komando Tertinggi Sekutu bermula dari 28 Ogos. Upacara Penyerahan kalah diadakan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika Syarikat Missouri. Dokumen Penyerahan kalah Jepun yang ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepun secara rasmi mengakhiri Perang Dunia Kedua. Penduduk awam dan anggota tentera di negara-negara Bersekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepun (V-J Day). Walaupun demikian, sebagian pos komando terpencil dan kakitangan tentera dari kesatuan di pelosok-pelosok Asia menolak untuk menyerah diri selama berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun setelah Jepun menyerah. Sejak Penyerahan kalah Jepun, sejarawan terus berdebat tentang etika penggunaan bom atom

Kekalahan Jepun

 
Pendaratan Sekutu di Medan Perang Operasi Samudra Pasifik, Ogos 1942 hingga Ogos 1945.

Pada tahun 1945, Jepun telah hampir dua tahun berturut-turut mengalami kekalahan berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana, dan kampanye militer Filipina. Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki Tōjō diangkat sebagai perdana menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang menyatakan Filipina sebagai tempat pertempuran berikutnya yang menentukan.[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang diganti oleh Laksamana Kantarō Suzuki. Paruh pertama tahun 1945, Sekutu sudah berhasil merebut Iwo Jima dan Okinawa. Setelah diduduki Sekutu, Okinawa dijadikan daerah singgahan untuk menyerbu ke pulau-pulau utama di Jepun.[2]

Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di lepas pantai Jepun telah menghancurkan sebagian besar armada dagang Jepun. Sebagai negara dengan sedikit sumber daya alam, Jepun bergantung kepada bahan mentah yang diimpor dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepun di Hindia Belanda, terutama minyak bumi.[3] Penghancuran armada dagang Jepun, ditambah dengan pengeboman strategis kawasan industri di Jepun telah meruntuhkan ekonomi perang Jepun. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan pasokan bahan mentah lainnya hanya dalam jumlah kecil dibandingkan pasokan sebelum perang.[4][5]

 
Kapal tempur Jepun Haruna karam di tempat berlabuhnya di pangkalan angkatan laut Kure dalam peristiwa Pengeboman Kure 24 Jun 1945.

Akibat kebinasaan yang dialaminya, kekuatan Angkatan Laut Empayar Jepun secara efektif hapus. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu di galangan kapal Jepun di Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepun yang berbaki enam kapal pengangkut pesawat, empat kapal penjajap, dan satu kapal tempur. Namun semuanya tidak mempunyai bahan api yang mencukupi. Walaupun masih ada 19 kapal pembinasa dan 38 kapal selam yang masih beroperasi, operasi mereka menjadi terbatas akibat kekurangan bahan bakar.[6][7]

Berhadapan dengan kemungkinan serbuan pihak Bersekutu ke pulau-pulau utama Jepun, bermula dari Kyushu, Jurnal Perang Markas Besar Empayar menyimpulkan,

Kami tidak dapat lagi memimpin perang dengan ada sedikit pun harapan untuk menang. Satu-satunya jalan yang tersisa adalah mengorbankan nyawa seratus juta rakyat Jepun sebagai bom hidup agar musuh kehilangan semangat bertempur.[8]

Sebagai usaha darurat yang terakhir untuk menghentikan gerak maju Sekutu, Komando Tertinggi Empayar Jepun merencanakan pertahanan Kyushu secara habis-habisan. Usaha yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go.[9] ini dimaksudkan sebagai perubahan strategi yang radikal. Berbeda dari sistem pertahanan berlapis seperti dipakai sewaktu mengSerangan Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini semuanya dipertaruhkan di pantai. Sebelum pasukan dan perlengkapan didaratkan transpor amfibi di pantai, mereka akan diserang oleh 3.000 pesawat kamikaze. Bila strategi ini tidak mengusir Sekutu, Jepun akan mengerahkan 3.500 pesawat kamikaze tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shinyo disertai kapal-kapal perusak dan kapal-kapal selam yang masih tersisa--hingga kapal terakhir yang operasional--untuk menghancurkan Sekutu. Bila Sekutu menang dalam pertempuran di pantai dan berhasil mendarat di Kyushu, hanya akan tersisa 3.000 pesawat untuk mempertahankan pulau-pulau Jepun yang lain. Walaupun demikian, Kyushu akan dipertahankan "hingga titik darah penghabisan".[7] Serangkaian gua-gua digali di dekat Nagano. Gua-gua tersebut disebut Markas Besar Empayar Bawah Tanah Matsushiro akan dijadikan Markas Angkatan Darat di saat terjadinya Serangan Sekutu dan sebagai rumah perlindungan Maharaja Jepun dan keluarga.

Dewan Penasihat Tentera

Pengambilan keputusan perang Jepun berpusat di Dewan Penasihat Militer yang beranggotakan enam pejabat tinggi: perdana menteri, menteri luar negeri, menteri angkatan darat, menteri angkatan laut, kepala staf umum angkatan darat, dan kepala staf umum angkatan laut. Ketika terbentuknya kabinet pemerintah Suzuki pada April 1945, keanggotaan dewan terdiri dari:

 
Kabinet Suzuki, Juni 1945

Secara hukum, Angkatan Darat dan Angkatan Laut Empayar Jepun memiliki hak untuk mencalonkan (atau menolak pencalonan) masing-masing menteri. Sebagai hasilnya, Jepun dapat menghindari pembentukan pemerintahan yang tidak diingini, atau terjadinya pengunduran diri yang dapat menjatuhkan pemerintah yang sedang berjalan.[10][11]

Maharaja Hirohito dan Penjaga Cap Pribadi Maharaja Kōichi Kido juga hadir dalam rapat-rapat Dewan Penasihat Militer.[12]


Rujukan

Catatan kaki

  1. ^ Frank, 90.
  2. ^ Skates, 158, 195
  3. ^ Frank, 87–88
  4. ^ Frank, 81
  5. ^ Robert A. Pape "Why Japan Surrendered," International Security, Vol. 18, No. 2 (Fall 1993), 154–201.
  6. ^ Feifer, 418
  7. ^ a b Reynolds, 363
  8. ^ Frank, 89, mengutip Daikichi Irokawa, The Age of Hirohito. Perlu dicatat, Jepun secara konsisten menggelembungkan jumlah populasi menjadi 100 juta, padahal faktanya dalam sensus 1944 hanya ada 72 juta orang.
  9. ^ Skates, 100–115
  10. ^ Frank, 86.
  11. ^ Spector 33.
  12. ^ Peran sebenarnya Maharaja telah menjadi bahan perdebatan sejarah. Sebagian dari bukti-bukti kunci dihancurkan pada hari-hari menjelang Penyerahan kalah Jepun dan berawalnya pendudukan Sekutu. Beberapa sejarawan berpendapat Maharaja Hirohito hanyalah kepala negara tanpa kekuasaan, sementara sejarawan lain berpendapat Maharaja ikut berperan di belakang layar. "Tidak ada satu pun dari kedua pendapat yang saling bertolak belakang tersebut benar" dan kebenaran kira-kira berada di antara keduanya. — Frank, 87.

Bacaan Lanjut

  • Bix, Herbert (2001). Hirohito and the Making of Modern Japan. Perennial. ISBN 0060931302. Cite has empty unknown parameter: |coauthors= (bantuan)
  • Butow, Robert J. C. (1954). Japan's Decision to Surrender. Stanford University Press. ISBN 978-0804704601. Cite has empty unknown parameter: |coauthors= (bantuan)
  • Cook, Haruko Taya (1992). Japan at War: An Oral History. New Press. ISBN 1565840399. Unknown parameter |coauthors= ignored (|author= suggested) (bantuan)
  • Dower, John (1999). Embracing Defeat: Japan in the Wake of World War II. W.W. Norton & Company Inc. ISBN 0393046869. Cite has empty unknown parameter: |coauthors= (bantuan)
  • Feifer, George (2001). The Battle of Okinawa: The Blood and the Bomb. Guilford, CT: The Lyons Press. ISBN 1585742155. Cite has empty unknown parameter: |coauthors= (bantuan)
  • Ford, Daniel, "The Last Raid". Air&Space Smithsonian, September 1995: 74-81
  • Frank, Richard B. (1999). Downfall: the End of the Imperial Japanese Empire. New York: Penguin. ISBN 0141001461.
  • Hasegawa, Tsuyoshi (2005). Racing the Enemy: Stalin, Truman, and the Surrender of Japan. Harvard University Press. ISBN 9780674016934. Cite has empty unknown parameter: |coauthors= (bantuan)
  • Hoyt, Edwin P. (1986). Japan's War: The Great Pacific Conflict. New York: Cooper Square Press. ISBN 0815411189.
  • The Pacific War Research Society (1965; English language: 1968). Japan's Longest Day. Palo Alto, California: Kodansha International. Check date values in: |year= (bantuan)
  • Reynolds, Clark G. (1968). The Fast Carriers; The Forging of an Air Navy. New York, Toronto, London, Sydney: McGraw-Hill Book Company.
  • Skates, John Ray (1994). The Invasion of Japan: Alternative to the Bomb. Columbia, SC: University of South Carolina Press. ISBN 0872499723. Cite has empty unknown parameter: |coauthors= (bantuan)
  • Smith, John B. (2002). The Last Mission: The Secret Story of World War II's Final Battle. New York: Broadway Books. ISBN 0767907787. Unknown parameter |coauthors= ignored (|author= suggested) (bantuan)
  • Spector, Ronald H. (1985). Eagle Against The Sun. Vintage. ISBN 978-0394741017.
  • Wainstock, Dennis (1996). The Decision to Drop the Atomic Bomb. Greenwood Publishing Group. ISBN 9780275954758.
  • Weinberg, Gerhard L. (1999). A World at Arms: A Global History of World War II. Cambridge University Press. ISBN 0521558794.
  • Weintraub, Stanley (1995). The Last Great Victory: the End of World War II. Dutton Adult. ISBN 0525936874.

Pautan luar

Templat:Link FA